Senin, 08 Februari 2010

Uang dalam perspektif sosiologi

MAKNA SOSIOLOGI UANG

Barangsiapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat atas seluruh manusia; memerintah para juru masak agar menyajikan santapan baginya, memerintah para bijak-cendekia untuk memberinya pelajaran, memerintah para raja untuk menjaganya - sejauh satu sen.
(Thomas Carlyle, Sartor Resartus-On Heroes and Hero Worship, Everyman’s library)

A. Uang sebagai Medium Pertukaran dan Alat Analisis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia uang berarti alat penukar atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain yang dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu.
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efesien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efesiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktifitas dan kemakmuran.
Uang bermutu tinggi ialah uang yang amat dipercayai nilainya sebagai alat tukar. Sejak zaman dulu, peranan pemerintah merupakan salah satu penentu dari terpeliharanya mutu tinggi dari suatu jenis mata uang. Aristoteles, dianggap sebagai perintis teori tentang pengelolaan uang oleh pemerintah. Dalam karyanya yang berjudul “Ethica Nichomachea”, ia menulis: “Money has become by convention ‘money’ (nomina)—because it is exists not only by nature but by law (nomos) and it is in our power to change it and make it useless”. Nilai uang itu tidak ditentukan secara kodrati, melainkan ditentukan oleh hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Seperti yang pernah Negara kita alami, dimana nilai rupiah berubah (turun) dalam kaitannya dengan dollar, yaitu sebagai akibat dari keputusan pemerintah, baik dalam sanering (kasus Indonesia tahun 1959 dan 1966) maupun devaluasi (kasus tahun 1983 dan 1986). Nilai nominal uang kitapun ditentukan oleh pemerintah, terlepas dari nilai intrinsiknya.
Salah satu fungsi dari uang adalah sebagai alat analisis. Seperti dalam pengelolaan keuangan yang memiliki tujuan menyediakan pemahaman tentang cara perusahaan/lembaga bisnis memperoleh dan mengalokasikan dana yang dimilikinya (keputusan pembelanjaan), menyediakan pemahaman tentang menguji kelayakan suatu investasi (keputusan investasi) dan kebijakan tentang pemberian deviden kepada pemegang saham (keputusan deviden). Salah satu tujuan dari pengelolaan keuangan yang cukup dikenal yaitu analisis pembuatan keputusan investasi yang memaksimalkan nilai perusahaan, dengan lebih terfokus pada alat keputusan investasi yaitu net present value.
B. Arti dan Fungsi Sosial Uang dalam Masyarakat
Secara umum, uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghidarkan perdagangan dengan cara barter. Secara lebih rinci, fungsi uang dibedalan menjadi dua: fungsi asli dan fungsi turunan.
Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.
Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat mempermudah pertukaran. Orang yang akan melakukan pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.
Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account) karena uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar kecilnya pinjaman. Uang juga dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.
Selain itu, uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang.
Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain uang sebagai alat pembayaran, sebagai alat pembayaran utang, sebagai alat penimbun atau pemindah kekayaan (modal), dan alat untuk meningkatkan status sosial.
Mannan berpendapat bahwa fungsi uang hanya sebagai alat untuk melaksanakan fungsinya sebagai fungsi sosial, yaitu mempermudah pengukuran nilai barang yang ditukarkan dan fungsi religius, yaitu untuk mempermudah pengambilan zakat dan pembayarannya pada orang miskin.
Hugh Dalziel Duncan dalam bukunya Sosiologi Uang (1997) memberikan pernyataan yang bisa membuat merah telinga siapa saja, “barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia”. Ungkapan Duncan di atas, dipertegas oleh Carlyle dan Marx dengan memberikan kesepakatan, bahwa misteri uang terungkap melalui pakaian (atau apa yang kita konsumsi) yang di sana ditandai perbedaan kelas dan kekuasaan.
C. Pergerseran Fungsi Uang dan Transaksi dalam Masyarakat
Sejauh pengetahuan kami, satu-satunya buku yang membahas soal uang adalah yang berjudul “Philosophie des Geldes” (Filsafat Uang) yang ditulis oleh Georg Simmel, seorang filsuf dan sosiolog berkebangsaan Jerman yang menghabiskan sebagian besar masa hidupnya di Berlin.
Salah satu dalil pokok dari filsafat Simmel ialah bahwa “semua hal harus dianggap saling terhubung atau masing-masing merupakan fungsi dari hal yang lain”. (relasionisme). Relasionisme Simmel bertolak dari asumsi dasar filosofisnya yang menganggap bahwa realitas atau kenyataan itu pada hakekatnya ialah gerak, perubahan terus menerus, sebuah proses.
Pandangan dasar ini sangat tampak dalam uraian Simmel tentang masyarakat dan tentang uang. Masyarakat, bagi Simmel, adalah jumlah total interaksi dan saling ketergantungan antar individu, adalah jumlah ‘gerak’ dan ‘aliran’. Namun, kita sudah terbiasa untuk sering menganggap masyarakat itu sebagai sebuah ‘organisme’, sebagai ‘substansi’, sebagai ‘entitas yang utuh’, padahal—padahal itu semua hanya imagined community.
Begitu juga uang. Bagi Simmel, uang bukanlah ‘substansi’ yang pada dirinya sendiri bernilai dan karenanya dapat ditukarkan dengan apa saja. Tidak. Uang pada hakekatnya ialah relasi, yakni relasi pertukaran, yang diwujudkan secara jasmaniah. Uang, dengan kata lain ialah sebuah simbol dari relasi pertukaran.
Ini sesuai dengan definisi uang menurut John Eatwell, Murray Mullgate dan Peter Newman, bahwa: “Money is a social relation. Like the meaning of a word, or the proper form of a ritual, it exists as a part of a system of behaviour shared by a group of people. Thought it is the joint creation of a whole society, money is external to any particular individual, a reality as unyielding to an individual’s will as any natural phenomenon.” (The New Palgrave: A Dictionary of Economics). Untuk memahami sistem hubungan sosial dimana uang memainkan peranan penting, kita harus memakai perspektif historis komparatif. Sifat khas uang hanya dapat dilihat bila sistem sosial kita dibandingkan dengn sistem sosial yang tidak melibatkan uang. Analisis Karl Marx tentang produksi komoditi memberi kita perspektif itu.
Dalam setiap masyarakat, orang haruslah berproduksi (memproduksi sesuatu) agar dapat bertahan hidup dan mengembangkan diri. Namun cara berproduksi atau berhubungan dalam produksi itu sebenarnya dapat diorganisir melalui berbagai cara yang berbeda satu sama lain. Salah satu dimensi yang membedakan cara-cara berproduksi ini ialah sejauh mana produk yang dihasilkan itu dikontrol oleh individu-individu pemili (perodusen) yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya. Dalam sistem produksi komoditi, suatu produk yang dihasilkan ialah ‘hak milik’ seorang pemilik, yang dapat ditukarkannya dengan produk yang dimiliki orang lain, mula-mula dengan sistem barter, lalu melalui uang komoditi, dan saat ini akhirnya dengan nominalisme.
Sebagai seorang sosiolog, Simmel juga meletakkan uang dalam perspektif sosiologi. Yang menarik dan relevan disini ialah pernyataan bahwa uang memperbesar kebebasan individu dalam masyarakat dan itu memberi keleluasaan individu untuk, katakanlah, mengaktualkan diri. Semakin luas lingkup sosial, semakin terdiferensiasi masyarakat, semakin ‘terspresialisasi’ pula ‘kewajiban-kewajiban sosial’ yang harus dijalani oleh individu. Bila lingkup sosial kecil, setiap anggota harus mampu mengerjakan banyak hal, diferensiasi dan spesialisasi krja hampir tak ada. Semua orang harus mengerjakan semua. Uang memperluas lingkup sosial karena sifatnya yang ‘impersonal’, karena itu berhubungan dengan semakin ringannya kewajiban sosial.
Selain itu, uang dapat menjadi substitusi bagi ‘kewajiban-kewajiban sosial’, setidaknya sampai tingkat tertentu. Misalnya, kakak ipar saya menikahkan anaknya di Bali atau Kalimantan sementara saya tinggal di Jawa, ‘kewajiban sosial’ saya cukup terpenuhi dengan mengirimkan ongkos transportasi sebagai kado (katakanlah Rp. 1.000.000,- termasuk menginap di hotel semalam) daripada saya tetap wajib hadir in person dan memberi kado ala kadarnya (katakanlah “yang lazim” Rp. 100.000,-).
Kita dapat merumuskan, bahwa dengan pemilikan uang terjadi apa yang kini disebut sebagai leisure time, yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk aktualisasi diri. Masalahnya kini, salah satu isu yang berkembang dalam dunia bisnis dewasa ini adalah industri jasa yang fokus utamanya adalah pada leisure time itu sendiri. Misalnya yang sering terjadi di kompleks-kompleks perumahan urban dewasa ini di Indonesia, tugas ronda atau tugas membuang sampah yang notabene merupakan salah satu ‘kewajiban sosial’, kini dapat dihindari hanya dengan membayarkan uang dalam jumlah tertentu.
Dalam karyanya yang bertitel The Philosophy of Money (1900), Simmel mengemukakan uang telah dilingkupi perasaan-perasaan penting manusia yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi, seperti harapan dan ketakutan, serta hasrat dan kecemasan.

Itulah lingkaran ekonomi yang menghantui manusia. Sebab, pada kenyataannya, uang pasti berkoneksi dengan otoritas, emosi, dan rasa kepercayaan. Uang dapat memberi jaminan bagi seluruh sentimen perekonomian itu.

Benar bahwa uang adalah alat pertukaran. Mekanisme jual-beli makin mudah dilakukan dengan medium bernama uang. Uang bisa memberi harga objektif bagi aneka barang dan jasa yang dibutuhkan manusia.

Tetapi kekuatan uang sebagai instrumen pertukaran bisa menggerus jalinan interaksi yang terjadi pada manusia. Hubungan antarmanusia yang semula bersifat personal lenyap menjadi impersonal. Sebab uang selalu menuntut perhitungan yang rasional (masuk akal atau tidak) dan kalkulatif (menguntungkan atau tidak).

Uang menjadi sebentuk daya reifikasi yang sepenuhnya mewarnai relasi-relasi kemanusiaan. Reifikasi merupakan hubungan benda dengan benda. Ketika jalinan sosial antarmanusia dimediasikan oleh uang, yang tercipta adalah manusia saling menganggap sesamanya sebagai benda belaka.

Uang memiliki sifat fleksibel yang tak mampu digantikan oleh perkakas pertukaran lainnya. Uang menjadi sarana sekaligus tujuan itu sendiri. Setiap reifikasi pasti mengandaikan berlangsungnya alienasi (keterasingan).
Kita sering mendengar pepatah time is money, waktu adalah uang. Namun bagi orang yang dapat memanfaatkan uang (bukan dimanfaatkan oleh uang), mungkin kebalikannyalah yang terjadi. Money is time, uang adalah waktu. Money is time and energy. Individu yang tidak perlu lagi dipusingkan oleh uang, apapun alasannya, adalah mereka yang dapat secara leluasa bermain-main, dengan apapun, baik itu dengan kata-kata (menulis puisi, novel ataukah cerpen), dengan warna (melukis) atau dengan dunia nyata (berpetualang) atau bermain dengan ide-ide (berfilsafat).
Dalam “Ethica Nichomachea”, Aristoteles juga membedakan tiga sikap manusia terhadap uang. Sikap yang seimbang dan etis sebagai “sikap murah hati”, sikap yang merupakan ekses sebagai “sikap boros”, dan sikap yang merupakan kekurangan sebagai “sikap pelit”. Sikap murah hati ialah sikap yang dapat memberikan uang atau apapun yang dapat diuangkan kepada pihak yang tepat dan mau menerima dari pihak yang tepat. Tekanan diberikan pada kata “memberi”, karena ia bermakna lebih aktif daripada kata “menerima”. Sebaliknya sikap pelit memberi tekanan pada kata “menerima” saja.
D. Beberapa Pemikiran tentang Uang (Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber)
Karl Marx
Marx menganalisa uang dalam kaitan dengan kritiknya terhadap kapitalisme. Bagi dia, uang adalah simbol keterasingan manusia. Dia menelusuri akar uang hingga ke kultur materialistis Yahudi. Maka bagi Marx uang adalah ‘allah’ Israel yang pencemburu, yang tidak menghendaki ‘allah’ lain di sampingnya. Karena itu, bagi dia uang adalah bentuk paling sempurna dari proses pembendaan (reifikasi) semua hal. Uang mengkuantifikasi semua nilai dan mengasingkan manusia dari ekisistensinya yang paling murni.

Pergeseran orientasi hidup dengan menjadikan modal, uang atau alat produksi sebagai kekuasaan telah tumbuh di mana-mana, yang jauh sebelum itu justru telah menjadi dasar perjuangan kelas kaum proletariat melawan kaum borjuasi yang dihela melalui pemikiran-pemikiran Karl Marx. Bagi mereka yang tidak memiliki modal atau uang, bersiaplah tersingkir atau disingkirkan dari gelanggang kehidupan. Uang telah menjadi sebuah “komunitas” (dengan tanda petik) yang memiliki hukum-hukum, tradisi dan hak-hak secara empirik.

Emile Durkheim
Bagi Durkheim, krisis keuangan, ketersendatan dalam relasi ekonomis dapat menjadi sebab kerusakan komunitas sosial. Karena itu, atas nama moral keterarturan sosial, perlu ada ‘pengaturan’ yang membatasi keinginan dan kebutuhan akan uang. Menurut Durkheim, hanya regulasi yang baik yang dapat dan harus mengendalikan kekeuatan-kekuatan ekonomi. Bukan ekonomi atau uang itu sendiri.

Max Weber
Menurut Weber ketika protestantisme yang memberi penghargaan yang tinggi pada akumulasi uang sembari sedapat mungkin menghindari kenikmatan hidup merupakan daya dorong pertumbuhan kapitalisme. Menurut dia, uang berperan dalam memajukan hampir semua sendi kehidupan manusia modern.

1 komentar: