Rabu, 27 Januari 2010

sekelumit tentang ruwetnya peraturan pajak di Indonesia

Ketentuan umum perpajakan (a)

1. Undang-undang republik indonesia nomor 28 tahun 2007 tentang perubahan ketiga atas undang-undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan
2. Wajib pajak (wp) adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu
3. Wajib pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan nomor pokok wajib pajak (npwp). Wajib pajak orang pribadi yang wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh npwp adalah :
1. Orang pribadi yang menjalakan usaha atau pekerjaan bebas;
2. Orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, yang memperoleh penghasilan diatas penghasilan tidak kena pajak (ptkp) wajib mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya;
3. Wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta;
4. Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu yang mempunyai tempat usaha berbeda dengan tempat tinggal, selain wajib mendaftarkan diri ke kpp yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggalnya, juga diwajibkan mendaftarkan diri ke kpp yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi npwp adalah :
- sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
- sebagai identitas wajib pajak.
- menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan.
- dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.

Dengan memiliki npwp, wajib pajak memperoleh beberapa manfaat langsung lainnya, seperti : sebagai pembayaran pajak di muka (angsuran/kredit pajak) atas fiskal luar negeri yang dibayar sewaktu wajib pajak bertolak ke luar negeri, memenuhi salah satu persyaratan ketika melakukan pengurusan surat izin usaha perdagangan (siup), dan salah satu syarat pembuatan rekening koran di bank-bank.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. Sesuai dengan sistem self assessment, wajib pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri, melakukan sendiri penghitungan pembayaran dan pelaporan pajak terutangnya. Setiap wajib pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan uu ppn 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor direktorat jenderal pajak yang wilayah kerjanya meliputi : tempat tinggal,tempat kedudukan, dan tempat kegiatan usaha dilakukan, dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak
5. Npwp adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana yang merupakan tanda pengenal atau identitas bagi setiap wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan.
6. Penghapusan nomor pokok wajib pajak dilakukan oleh direktur jenderal pajak apabila:
A. Diajukan permohonan penghapusan nomor pokok wajib pajak oleh wajib pajak dan/atau ahli warisnya apabila wajib pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
B. Wajib pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
C. Wajib pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di indonesia; atau
D. Dianggap perlu oleh direktur jenderal pajak untuk menghapuskan nomor pokok wajib pajak dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(7) direktur jenderal pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan nomor pokok wajib pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk wajib pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk wajib pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(8) direktur jenderal pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak.
(9) direktur jenderal pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

7. Masa pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.
Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
*ini baru prolognya dong loh................

sistem perbankan syariah

TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN, DAN PENGELOLAAN RISIKO
PERBANKAN SYARIAH
Secara umum dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Bank Syariah dan UUS wajib memenuhi tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), prinsip kehati-hatian dan pengelolaan risiko. Selain itu, Bank Syariah dan UUS diwajibkan pula untuk menerapkan prinsip mengenal nasabah dan perlindungan nasabah termasuk kewajiban untuk menjelaskan kepada Nasabah mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah (Pasal 34, Pasal 35, Pasal 38 dan Pasal 39).
Tata kelola yang baik (good corporate governance) mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam menjalankan kegiatan operasional bank. Dalam pelaksanaannya Bank Syariah dan UUS diwajibkan untuk menyusun prosedur internal yang mengacu pada prinsip -prinsip tersebut di atas (Pasal 34).
Dalam penerapan prinsip kehati-hatian, Bank Syariah dan UUS diwajibkan untuk menempuh cara-cara yang tidak merugikan kepentingan nasabah deposan, yaitu antara lain wajib mentaati ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan (BMPP). Besarnya BMPP adalah 30% dari modal Bank Syariah bagi nasabah penerima fasilitas atau sekelompok nasabah penerima fasilitas, termasuk kepada perusahaan dalam kelompok yang sama dengan Bank Syariah atau UUS. Sedangkan bagi pihak-pihak antara lain pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih, anggota dewan komisaris dan keluarga, anggota dewan direksi dan keluarga, pejabat bank, perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan pihak tersebut di atas, besarnya BMPP adalah 20% (Pasal 36 dan Pasal 37).
Terkait risiko pembiayaan dimana nasabah penerima fasilitas tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui maupun di luar pelelangan yang wajib diselesaikan (dijual) oleh Bank dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. Selain dapat dibeli oleh bank, agunan juga dapat dikuasakan oleh pemilik agunan kepada bank untuk dijual (Pasal 40).

RAHASIA BANK
Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor dan Investasinya (Pasal 1 No14). Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat kepada Bank maka Bank dan Pihak terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya serta nasabah investor dan investasinya (Pasal 41).
Pengecualian atas rahasia bank berlaku dalam hal:
1. Kepentingan penyidikan pidana perpajakan (Pasal 42)
2. Kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 43)
3. Kepentingan perkara perdata antara bank dan nasabah (Pasal 45)
4. Kepentingan tukar menukar informasi antarbank (Pasal 46)
5. Adanya permintaan, persetujuan, atau kuasa tertulis dari nasabah penyimpan atau nasabah investor (Pasal 47).
6. Adanya ahli waris yang sah untuk memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah (Pasal 48).

Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 45, dan Pasal 46, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan (Pasal 49).

*dirangkai dari UU bank syariah

auditing syariah menembus dunia

Auditing adalah proses sistematik dengan tujuan untuk mendapatkan dan mengevaluasi fakta yang berkaitan dengan asersi mengenai kejadian dan tindakan ekonomi untuk memastikan kesesuaian antara asersi dengan kriteria yang ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Auditing adalah proses pengumpulan dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi yang dilakukan seseorang yang kompeten dan independen untuk dapat menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi dimaksud dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan (Arens & Leobbecke ; 1998) sedangkan menurut R.K Mautz,Husain A sharaf ;1993 mendefinisikan auditing sebagai rangkaian praktek dan prosedur, metode dan teknik, suatu cara yang hanya sedikit butuh penjelasan, diskripsi, rekonsiliasi dan argumen yang biasanya menggumpal sebagai teori. Selanjutnya Mulyadi & Kanaka Puradiredja (1998) mendifinisikan auditing adalah proses sistematis untuk mempelajari dan mengevaluasi bukti secara objektip mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.
Menurut DJBC(Direktorat Jenderal Bea Cukai), Auditing adalah suatu proses sistematika untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menerapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan.

Jenis-Jenis Audit
1. Internal Audits
Internal auditing: fungsi penilai independen yang dibentuk dalam organisasi untuk menguji dan mengevaluasi aktivitas-aktivitas dalam organisasi IIA (Institute of Internal Auditors), yang dilakukan:
• Pemeriksaan keuangan
• Evaluasi efisiensi operasi
• Review kepatuhan (Compliance)
• Mendeteksi kecurangan
• Pemeriksaan IT
Sertifikasi: CIA (Certified Internal Auditor). Standar, pedoman dan sertifikasi dikelola oleh: IIA
Peran Internal Auditor adalah :
1. Bertanggung jawab kepada direktur
2. Menjalankan fungsi internal control
3. Membantu organisasi dalam pengukuran dan evaluasi:
• Efektivitas internal controls
• Pencapaian tujuan organisasi
• Ekonomis & efisiensi aktivitas
• Compliance with laws and regulations
4. Operational audits

Cakupan Pekerjaan Internal Auditors
• Safeguarding Assets (menjaga aset)
• Compliance With Policies And Plans (kepatuhan dengan kebijakan dan rencana)
• Accomplishment Of Established Objectives(pencapaian tujuan yang telah ditetapkan)
• Reliability & Integrity Of Information (reliabilitasdan integritas informasi)
• Economics & Efficient Use Of Resources(penggunaan sumber daya secara efisien dan ekonomis)
Kerangka Kerja Internal Controls
• Pemisahan tugas (mencatat, mengotorisasi,menjaga)
• Pendelegasian authority & responsibility
• Otorisasi sistem
• Dokumentasi & pencatatan
• Pengendalian fisik aset & pencatatan
• Supervisi manajemen
• Independent checks
• Recruitment & training

2. External Audits
External auditing dimana tujuan utamanya pada materialitas dan kewajaran laporan keuangan, disebut juga Financial Audit.
Sertifikasi: CPA(Certified Public Accountant). Syarat menjadi External Auditor adalah Warga Negara Indonesia bergelar akademik akuntan (Ak) dan Bersertifikasi Akuntan Publik (BAP)
Standar, pedoman dan sertifikasi dikelola oleh: AICPA (American Institute of ssociation of Certified Public Accountant) di Indonesia IAI.
Peran External Auditors
1.Bertanggung jawab kepada pemegang saham dan publik
• Melalui dewan komisaris
2. Menilai financial statement assertions
• Existence or occurrence
• Completeness
• Valuation and allocation
• Presentation and disclosure
• Rights and obligations
3. Harus melakukan uji kepatuhan (compliance) dengan hukum dan regulasi
4. Harus melakukan uji terjadinya fraud dan ketidakpantasan (improprieties)
5. Mengandalan struktur internal control untuk perencanaan audit

EXTERNAL vs. INTERNAL
External auditors memberikan jaminan mengenai:
• Kewajaran Laporan Keuangan
• Kecurangan (fraud) & ketidakberesan (irregularities)
• Kemampuan untuk survive
Internal auditors menilai dan mengevaluasi kecukupan dan efektivitas pengendalian
– Pengendalian yaitu sistem yang mencegah (prevents), mendeteksi (detects), atau membetulkan (corrects) kejadian-kejadian yang tidak sah (unlawful), tidak diinginkan (undesirable) atau tidak benar (improper)

Auditing Syariah
Sistem ekonomi islam sudah mulai dipraktikkan dilapangan dan bukan hanya menjadi bahan diskusi para ahli. Pada awalnya sistem ini diterapkan dalam sektor perbankan, dan kemudian juga merambat pada sektor keuangan lainnya seperti asuransi dan pasar modal. Perkembangannya sangat pesat, saat ini tidak kurang dari 200 lembaga keuangan Islam telah beroperasi menerapkan sistem ekonomi islam yang terdapat diberbagai belahan dunia bukan saja di negara Islam tetapi juga di negara non muslim.
Dengan munculnya sistem tersebut mau tidak mau lembaga ini pasti memiliki perbedaan dengan lembaga konvensional, karena ia dioperasikan dengan menggunakan sistem nilai syariah yang didasarkan pada kedaulatan Tuhan bukan kedaulatan rasio ciptaan Tuhan yang terbatas. Dengan demikian maka sistem yang berkaitan dengan eksistensi lembaga ini juga perlu menerapkan nilai-nilai islami jika kita ingin menerapkan nilai-nilai Islami secara konsisten. Maka disinilah relevansi perlunya sistem auditing Islami dalam melakukan fungsi audit terhadap lembaga yang dijalankan secara Islami ini. Istilah "lingkup audit" mengacu pada prosedur audit dianggap perlu oleh auditor dalam keadaan untuk mencapai tujuan audit. Prosedur yang diminta untuk melakukan audit sesuai dengan ASIFIs harus ditentukan oleh auditor dengan memperhatikan persyaratan sesuai Peraturan dan Prinsip-prinsip Islam, ASIFIs, badan profesional yang relevan, undang-undang, peraturan-peraturan yang tidak bertentangan dengan Aturan Islam dan Prinsip-prinsip, dan, di mana sesuai, persyaratan audit dan persyaratan pelaporan pertunangan. International Standards on Auditing (ISA) akan berlaku sehubungan dengan hal-hal yang tidak dibahas secara rinci oleh ASIFIs menyediakan ini tidak bertentangan dengan Aturan dan Prinsip-prinsip Islam.
Pendekatan dalam perumusan sistem ini adalah seperti yang dikemukakan oleh Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yaitu :
1. Menentukan tujuan berdasarkan prinsip Islam dan ajarannya kemudian menjadikan tujuan ini sebagai bahan pertimbangan dengan mengaitkannya dengan pemikiran akuntansi yang berlaku saat ini.
2. Memulai dari tujuan yang ditetapkan oleh teori akuntansi kapitalis kemudian mengujinya menurut hukum syariah, menerima hal-hal yang konsisten dengan hukum syariah dan menolak hal-hal yang bertentangan dengan syariah.

Etika sering disebut moral akhlak, budi pekerti adalah sifat dan wilayah moral, mental, jiwa, hati nurani yang merupakan pedoman perilaku yang idial yang seharusnya dimiliki oleh manusia sebagai mahluk moral. Kode Etik Akuntan ini adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari syari’ah islam. Dalam sistem nilai Islam syarat ini ditempatkan sebagai landasan semua nilai dan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dalam setiap legislasi dalam masyarakat dan negara Islam.
Namun disamping dasar syariat ini landasan moral juga bisa diambil dari hasil pemikiran manusia pada keyakinan Islam. Beberapa landasan Kode Etik Akuntan Muslim ini adalah :
1. Integritas : Islam menempatkan integritas sebagai nilai tertinggi yang memandu seluruh perilakunya. Islam juga menilai perlunya kemampuan, kompetensi dan kualifikasi tertentu untuk melaksanakan suatu kewajiban.
2. Keikhlasan : Landasan ini berarti bahwa akuntan harus mencari keridhaan Allah dalam melaksanakan pekerjaannya bukan mencari nama, pura-pura, hipokrit dan sebagai bentuk kepalsuan lainnya. Menjadi ikhlas berarti akuntan tidak perlu tunduk pada pengaruh atau tekanan luar tetapi harus berdasarkan komitmen agama, ibadah dalam melaksanakan fungsi profesinya. Tugas profesi harus bisa dikonversi menjadi tugas ibadah.
3. Ketakwaan : Takwa merupakan sikap ketakutan kepada Allah baik dalam keadaan tersembunyi maupun terang-terangan sebagai salah satu cara untuk melindungi seseorang dari akibat negatif dari perilaku yang bertentangan dari syari’ah khususnya dlam hal yang berkitan dengan perilaku terhadap penggunaan kekayan atau transaksi yang cenderung pada kezaliman dan dalam hal yang tidak sesuai dengan syari’ah.
4. Kebenaran dan Bekerja Secara Sempurna : Akuntan tidak harus membatasi dirinya hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan profesi dan jabatannya tetapi juga harus berjuang untuk mencari dan mnenegakkan kebenaran dan kesempurnaan tugas profesinya dengan melaksanakan semua tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baik dan sesempurna mungkin. Hal ini tidak akan bisa direalisir terkecuali melalui kualifikasi akademik, pengalaman praktik, dan pemahaman serta pengalaman keagamaan yang diramu dalam pelaksanaan tugas profesinya. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah dalam Surat An Nahl ayat 90 :”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berbuat adil dan berbuat kebajikan…”, dan dalam Surat Al Baqarah ayat 195 :”Dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
5. Takut kepada Allah dalam setiap Hal : Seorang muslim meyakini bahwa Allah selalu melihat dan menyaksikan semua tingkah laku hambaNya dan selalu menyadari dan mempertimbangkan setiap tingkah laku yang tidak disukai Allah. Ini berarti sorang akuntan/auditor harus berperilaku “takut” kepada Allah tanpa harus menunggu dan mempertimbangkan apakah orang lain atau atasannya setuju atau menyukainya. Sikap ini merupakan sensor diri sehingga ia mampu bertahan terus menerus dari godaan yang berasal dari pekerjaan profesinya. Sikap ini ditegaskan dalam firman Allah Surat An Nisa ayat 1 :”Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Dan dalam Surat Ar Ra’d Ayat 33 Allah berfirman : “Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)”.
Sikap pengawasan diri berasal dari motivasi diri berasal dari motivasi diri sehingga diduga sukar untuk dicapai hanya dengan kode etik profesi rasional tanpa diperkuat oleh ikatan keyakinan dan kepercayaan akan keberadaan Allah yang selalu memperhatikan dan melihat pekerjaan kita. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Thaha ayat 7 :”Sesungguhnya dia mengetahui rahasia dan apa yang lebih tersembunyi”.
6. Manusia bertanggungjawab dihadapan Allah : Akuntan Muslim harus meyakini bahwa Allah selalu mengamati semua perilakunya dan dia akan mempertanggungjawabkan semua tingkah lakunya kepada Allah nanti di hari akhirat baik tingkah laku yang kecil amupun yang besar. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al Zalzalah ayat 7-8 : “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun niscaya dia akan melihat balasnya pula”. Oleh karena itu akuntan/auditor harus selalu ingat bahwa dia akan mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya dihadapan Allah dan juga kepada publik, profesi, atasan dan dirinya sendiri.
Tujuan dari audit laporan keuangan adalah untuk memungkinkan auditor untuk mengungkapkan suatu pendapat mengenai apakah laporan keuangan disusun, dalam semua hal yang material, sesuai dengan syariat Aturan dan Prinsip-prinsip, standar akuntansi. Akuntansi dan Auditing Organisasi Lembaga Keuangan Islam (AAOIFI) dan standar akuntansi nasional yang relevan dan praktek di negara di mana institusi keuangan beroperasi. Frasa yang digunakan untuk mengungkapkan pendapat auditor adalah "memberikan pandangan yang benar dan adil".
Meskipun pendapat auditor meningkatkan kredibilitas laporan keuangan, pengguna tidak dapat mengasumsikan bahwa pendapat adalah jaminan untuk kelangsungan hidup masa depan lembaga keuangan atau sebagai dengan efisiensi atau efektivitas dengan mana manajemen telah melaksanakan urusan-urusan lembaga keuangan. Auditor harus sesuai dengan "Kode Etik Akuntan Profesional" yang dikeluarkan oleh AAOIFI, dan International Federation of Accountants yang tidak bertentangan dengan Aturan dan Prinsip-prinsip Islam. Prinsip-prinsip etika yang mengatur tanggung jawab profesional auditor meliputi:
(a) kebenaran
(b) integritas
(c) dapat dipercaya
(d) keadilan
(e) kejujuran
(f) kemerdekaan
(g) objektivitas
(h) kompetensi profesional
(i) perawatan akibat
(j) kerahasiaan
(k) perilaku profesional
(l) standar teknis

*dirangkai dari berbagai sumber

Senin, 25 Januari 2010

Islam menyikapi pemberontakan

JARIMAH BUGHAT DAN MURTAD

PENGERTIAN
Makna Bahasa Bughat
Bughat ( بُغَاةٌ ) adalah bentuk jamak اَْلبَاغِيُ , yang merupakan isim fail (kata benda yang menunjukkan pelaku), berasal dari kata بَغى (fi’il madhi), َيبْغِيُ (fi’il mudhari’), danبُغْيَةً - بَغْيًا بُغَاءً - (mashdar). Kata بَغى mempunyai banyak makna, antara lain طَلَبَ (mencari, menuntut), ظَلَمَ (berbuat zalim), إِعْتَدَى / تَجَاوَزُالْحَدَّ (melampaui batas), dan كَذَبَ (berbohong)
Dengan demikian, secara bahasa, البَاغِيُ (dengan bentuk jamaknyaاَلْبُغَاةُ ) artinya اَلظَّالِمُ (orang yang berbuat zalim), اَلْمُعْتَدِيْ (orang yang melampaui batas), atau اَلظَّالِمُ الْمُسْتَعْلِيْ (orang yang berbuat zalim dan menyombongkan diri)
Makna Syar’i Bughat
Dalam definisi syar’i yaitu definisi menurut nash-nash Al-Qur`an dan As-Sunnah, bughat memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqih, meskipun berdekatan maknanya atau ada unsur kesamaannya. Kadang para ulama mendefinisikan bughat secara langsung, kadang mendefinisikan tindakannya, yaitu al-baghy[u] (pemberontakan).
Berikut ini definisi-definisi bughat yang dihimpun oleh Abdul Qadir Audah (1996:673-674), dalam kitabnya At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy dan oleh Syekh Ali Belhaj (1984:242-243), dalam kitabnya (Fashl Al-Kalam fi Muwajahah Zhulm Al-Hukkam)

A. Menurut Ulama Hanafiyah.

... البغي … الخروج عن طاعة إمام الحق بغير حق , و الباغي … الخارج عن طاعة إمام الحق بغير حق
( حاسية ابن عابدين ج: 3 ص: 426 – شرح فتح القدير ج: 4 ص: 48 )

"Al-Baghy[u] (pemberontakan) adalah keluar dari ketaatan kepada imam (khalifah) yang haq (sah) dengan tanpa [alasan] haq. Dan al-baaghi (bentuk tunggal bughat) adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada imam yang haq dengan tanpa haq.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, III/426; Syarah Fathul Qadir, IV/48).

B. Menurut Ulama Malikiyah

... البغي ... الإمتناع عن طاعة من ثبتت إمامته في غير معصية بمغالبته ولو تأويلا ...
... البغاة ... فرقة من المسلمين خالفت الإمام الأعظم أو نائبه لمنع حق وجب عليها أو لخلفه
( شرح الزرقاني و حاشية الشيبان ص: 60)

“Al-Baghy[u] adalah mencegah diri untuk mentaati orang yang telah sah menjadi imam (khalifah) dalam perkara bukan maksiat dengan menggunakan kekuatan fisik (mughalabah) walaupun karena alasan ta`wil (penafsiran agama)…
Dan bughat adalah kelompok (firqah) dari kaum muslimin yang menyalahi imam a’zham (khalifah) atau wakilnya, untuk mencegah hak (imam) yang wajib mereka tunaikan, atau untuk menggantikannya.” (Hasyiyah Az-Zarqani wa Hasyiyah Asy-Syaibani, hal. 60).

C. Menurut Ulama Syafi’iyah

... البغاة ... المسلمون مخالفو الإمام بخروج عليه و ترك الانقياد له أو منع حق توجه عليهم بشرط شوكة
لهم و تأويل و مطاع فيهم ( نهاية المحتاج ج: 8 ص: 382 ؛ المهذب ج: 2 ص: 217 ؛ كفاية الأخيار
ج: 2 ص: 197 – 198 ؛ فتح الوهاب ج: 2 ص: 153 )

“Bughat adalah kaum muslimin yang menyalahi imam dengan jalan memberontak kepadanya, tidak mentaatinya, atau mencegah hak yang yang seharusnya wajib mereka tunaikan (kepada imam), dengan syarat mereka mempunyai kekuatan (syaukah), ta`wil, dan pemimpin yang ditaati (muthaa’) dalam kelompok tersebut.” (Nihayatul Muhtaj, VIII/382; Al-Muhadzdzab, II/217; Kifayatul Akhyar, II/197-198; Fathul Wahhab, II/153).

... هم الخارجون عن طاعة بتأويل فاسد لا يقطع بفساده إن كان لهم شوكة بكثرة أو قوة و فيهم مطاع
( أسنى المطالب ج: 4 ص: 111 )

“Bughat adalah orang-orang yang keluar dari ketaatan dengan ta`wil yang fasid (keliru), yang tidak bisa dipastikan kefasidannya, jika mereka mempunyai kekuatan (syaukah), karena jumlahnya yang banyak atau adanya kekuatan, dan di antara mereka ada pemimpin yang ditaati.” (Asna Al-Mathalib, IV/111).

Jadi menurut ulama Syafi’iyah, bughat itu adalah pemberontakan dari suatu kelompok orang (jama’ah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan pemimpin yang ditaati (muthaa’), dengan ta`wil yang fasid

D. Menurut Ulama Hanabilah

... البغاة ... الخارجون عن إمام ولو غير عدل بتأويل سائغ و لهم شوكة ولو لم يكن فيهم مطاع
( شرح المنتهى مع كشاف القناع ج: 4 ص: 114 )

“Bughat adalah orang-orang memberontak kepada seorang imam --walaupun ia bukan imam yang adil-- dengan suatu ta`wil yang diperbolehkan (ta`wil sa`igh), mempunyai kekuatan (syaukah), meskipun tidak mempunyai pemimpin yang ditaati di antara mereka.” (Syarah Al-Muntaha ma’a Kasysyaf al-Qana’, IV/114).
E. Menurut Ulama Zhahiriyah

... بأنهم ينازعون الإمام العادل في حكمه فيأخذون الصدقات و يقيمون الحدود
( ابن حزم , المحلى ج: 12 ص: 520 )

“Bughat adalah mereka yang menentang imam yang adil dalam kekuasaannya, lalu mereka mengambil harta zakat dan menjalankan hudud” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XII/520).

... البغي هو الخروج على إمام حق بتأويل مخطىء في الدين أو الخروج لطلب الدنيا
( ابن حزم , المحلى ج: 11 ص: 97 - 98 )

“Al-Baghy[u] adalah memberontak kepada imam yang haq dengan suatu ta`wil yang salah dalam agama, atau memberontak untuk mencari dunia.” (Ibnu Hazm, Al-Muhalla, XI/97-98).
F. Menurut Ulama Syiah Zaidiyah

... الباغي ... من يظهر أنه محق و الإمام مبطل و حاربه أو غرم وله فئة أو منعة أو قام بما أمره للإمام
( الروض النضير ج: 4 ص: 331 )

“Bughat adalah orang yang menampakkan diri bahwa mereka adalah kelompok yang haq sedang imam adalah orang yang batil, mereka memerangi imam tersebut, atau menyita hartanya, mereka mempunyai kelompok dan senjata, serta melaksanakan sesuatu yang sebenarnya hak imam.” (Ar-Raudh An-Nadhir, IV/331).

DASAR HUKUM
Firman Allah:
“Kalau dua golongan dari golongan orang-orang Mukmin mengadakan peperangan, maka damaikanlah antara keduanya. Kalau salah satunya berbuat menentang perdamaian kepada lainnya, maka perangilah orang-orang (golongan) yang menentang itu sehingga mereka kembali ke jalan Allah. Kalau mereka kembali, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan memang harus berbuat adillah kamu sekalian. Sesungguhnya Allah itu mencintai pada orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. Al-Hujuraat: 9).

UNSUR-UNSUR JARIMAH BUGHAT
Dengan mengkaji nash-nash syara’ tersebut, dapat disimpulkan ada 3 (tiga) syarat yang harus ada secara bersamaan pada sebuah kelompok yang dinamakan bughat, yaitu :
1. Pemberontakan kepada khalifah/imam (al-khuruj ‘ala al-khalifah),
2. Adanya kekuatan yang dimiliki yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi (saytharah),
3. Mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya
Syarat pertama, adanya pemberontakan kepada khalifah (imam) (al-khuruuj ‘ala al-imam). Hal ini bisa terjadi misalnya dengan ketidaktaatan mereka kepada khalifah atau menolak hak khalifah yang mestinya mereka tunaikan kepadanya, semisal membayar zakat. Syarat pertama ini, memang tidak secara sharih (jelas) disebuntukan dalam surah Al-Hujurat ayat 9 :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ...

“Dan jika dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya (zalim) maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah ...” (QS Al-Hujurat [49]:9)

Namun demikian, Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari (w.925 H) dalam Fathul Wahhab (II/153) mengatakan,”Dalam ayat ini memang tidak disebut ‘memberontak kepada imam’ secara sharih, akan tetapi ayat tersebut telah mencakupnya berdasarkan keumuman ayatnya, atau karena ayat tersebut menuntutnya. Sebab jika perang dituntut karena kezaliman satu golongan atas golongan lain, maka kezaliman satu golongan atas imam tentu lebih dituntut lagi.”
Jadi, dalil syarat pertama ini (memberontak kepada imam) adalah keumuman ayat tersebut (QS 49:9). Selain itu, syarat ini ditunjukkan secara jelas oleh hadits yang menjelaskan tercelanya tindakan memberontak kepada imam (al-khuruj ‘an tha’at al-imam). Misalnya sabda Nabi SAW :

... مَنْ خَرَجَ مِنْ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ... ( روه مسلم عن أبي هريرة )

“Barangsiapa yang keluar dari ketaatan (kepada khalifah) dan memisahkan diri dari jamaah kemudian mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah.” (HR. Muslim No. 3436 dari Abu Hurairah).
Adapun yang dimaksud imam atau khalifah, bukanlah presiden atau raja atau kepala negara lainnya dari negara yang bukan negara Islam (Daulah Islamiyah/Khilafah). Abdul Qadir Audah menegaskan, “[Yang dimaksud] Imam, adalah pemimpin tertinggi (kepala) dari Negara Islam (ra`is ad-dawlah al-islamiyah al-a’la), atau orang yang mewakilinya...” (At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy, Juz II hal. 676).
Hal tersebut didasarkan dari kenyataan bahwa ayat tentang bughat (QS Al-Hujurat : 9) adalah ayat madaniyah yang berarti turun sesudah hijrah (As Suyuthi, 1991:370). Berarti ayat ini turun dalam konteks sistem negara Islam (Daulah Islamiyah), bukan dalam sistem yang lain. Hadits-hadits Nabi SAW dalam masalah bughat, juga demikian halnya, yaitu berbicara dalam konteks pemberontakan kepada khalifah, bukan yang lain . Demikian juga, pemberontakan dalam Perang Shiffin yang dipimpin Muawiyah (golongan bughat) melawan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah yang sah, jelas dalam konteks Daulah Islamiyah .
Dengan demikian, pemberontakan kepada kepala negara yang bukan khalifah, misalnya kepada presiden dalam sistem republik, tidak dapat disebut bughat, dari segi mana pun, menurut pengertian syar’i yang sahih.

Syarat kedua, mempunyai kekuatan yang memungkinkan kelompok bughat untuk mampu melakukan dominasi. Kekuatan ini haruslah sedemikian rupa, sehingga untuk mengajak golongan bughat ini kembali mentaati khalifah, khalifah harus mengerahkan segala kesanggupannya, misalnya mengeluarkan dana besar, menyiapkan pasukan, dan mempersiapkan perang . Kekuatan di sini, sering diungkapkan oleh para fuqaha dengan istilah asy-syaukah, sebab salah satu makna asy-syaukah adalah al-quwwah wa al-ba`s (keduanya berarti kekuatan) . Para fuqaha Syafi’iyyah menyatatakan bahwa asy-asyaukah ini bisa terwujud dengan adanya jumlah orang yang banyak (al-katsrah) dan adanya kekuatan (al-quwwah), serta adanya pemimpin yang ditaati
Syarat kedua ini, dalilnya antara lain dapat dipahami dari ayat tentang bughat (QS Al Hujurat: 9) pada lafazh وَإِنْ طَائِفَتَان ...ِ (jika dua golongan...). Sebab kata طَائِفَةٌ artinya adalah اَلْجَمَاعَةُ (kelompok) dan اَلْفِرْقَةُ (golongan) Hal ini jelas mengisyaratkan adanya sekumpulan orang yang bersatu, solid, dan akhirnya melahirkan kekuatan. Maka dari itu, Taqiyuddin Al-Husaini dalam Kifayatul Akhyar (II/198) ketika membahas syarat “kekuatan”, beliau mengatakan,”...jika (yang memberontak) itu adalah individu-individu (afraadan), serta mudah mendisiplinkan mereka, maka mereka itu bukanlah bughat.” Dengan demikian, jika ada yang memberontak kepada khalifah, tetapi tidak mempunyai kekuatan, misalnya hanya dilakukan oleh satu atau beberapa individu yang tidak membentuk kekuatan, maka ini tidak disebut bughat.

Syarat ketiga, mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Para fuqaha mengungkapkan syarat penggunaan senjata dengan istilah man’ah, atau terkadang juga dengan istilah asy-syaukah, karena asy-syaukah juga bisa berati as-silaah (senjata). Man’ah (boleh dibaca mana’ah) memiliki arti antara lain al-‘izz (kemuliaan), al-quwwah (kekuatan), atau kekuatan yang dapat digunakan seseorang untuk menghalangi orang lain yang bermaksud [buruk] kepadanya
Dalil syarat ketiga terdapat dalam ayat tentang bughat (QS Al Hujurat : 9), yaitu pada lafazh اقْتَتَلُوا (kedua golongan itu berperang). Ayat ini mengisyaratkan adanya sarana yang dituntut dalam perang, yaitu senjata (as-silaah). Selain dalil ini, ada dalil lain berupa hadits di mana Nabi SAW bersabda :

مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّّلاحَ فَلَيْسَ مِنّاَ ( متفق عليه عن ابن عمر )

“Barangsiapa yang membawa senjata untuk memerangi kami, maka ia bukanlah golongan kami.” (Shahih Bukhari No. 6366, Shahih Muslim No. 143. Lihat Bab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/257. Lihat juga hadits ini dalam Kitab Qitaal Ahl Al-Baghi, Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/217).
Dengan demikian, jika ada kelompok yang menentang dan tidak taat kepada khalifah, tetapi tidak menggunakan senjata, misalnya hanya dengan kritikan atau pernyataan, maka kelompok itu tak dapat disebut bughat.
Berdasarkan semua keterangan di atas, maka jelaslah bahwa definisi bughat adalah kelompok yang padanya terpenuhi 3 (tiga) syarat secara bersamaan, yaitu : (1) melakukan pemberontakan kepada khalifah/imam, (2) mempunyai kekuatan yang memungkinkan bughat untuk mampu melakukan dominasi, dan (3) mengggunakan senjata untuk mewujudkan tujuan-tujuan politisnya (Haikal, 1996:63).
Atas dasar syarat-syarat itulah, Syaikh Abdurrahman Al-Maliki, dalam kitabnya Nizham Al-Uqubat, hal. 79, mendefinisikan bughat sebagai berikut :

... هم الذين خرجوا على الدولة الإسلامية , و لهم شوكة و منعة , أي هم الذين شقوا عصا الطاعة على الدولة , و شهروا في وجهها السلاح , و أعلنوا حربا عليها ...

“Orang-orang yang memberontak kepada Daulah Islamiyah (Khilafah), yang mempunyai kekuatan (syaukah) dan senjata (man’ah). Artinya, mereka adalah orang-orang yang tidak mentaati negara, mengangkat senjata untuk menentang negara, serta mengumumkan perang terhadap negara.” (Al-Maliki, 1990:79).
Lalu, bagaimana dengan syarat-syarat lain tentang bughat seperti adanya ta`wil yang menjadi pendorong pemberontakan (pendapat ulama Syafi’iyyah), atau syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm). Muhammad Khayr Haikal dalam Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (I/64) mengatakan bahwa ayat bughat (QS Al-Hujurat:9) tidak menyebuntukan syarat tersebut (ta`wil). Sebab, menurut beliau, kata تَبْغِيْ (golongan yang menganiaya) dalam ayat tersebut, bersifat mutlak, tidak bersyarat (muqayyad) dengan adanya ta`wil yang masih dibolehkan (ta`wil sa`igh). Maka, kemutlakan ayat tersebut tak membedakan apakah kelompok bughat memberontak atas dasar ta`wil dalam paham agama, ataukah karena alasan duniawi, seperti hendak memperoleh harta dan tahta.
Hal yang sama dapat juga dikatakan untuk syarat bahwa yang diberontak adalah imam yang adil (pendapat Ibnu Hazm). Syarat ini tidak tepat, sebab ayat bughat bersifat mutlak, tidak ada persyaratan bahwa bughat adalah yang memberontak kepada imam yang adil. Selain itu, hadits-hadits Nabi SAW tentang bughat juga bersifat mutlak (imam adil dan fasik), bukan muqayyad (hanya imam adil saja). Karena itulah, pendapat yang lebih tepat (rajih) adalah apa yang yang dinyatakan Syaikh Abdurrahman Al-Maliki :

... ولا فرق في ذلك بين أن يخرجوا على خليفة عادل , أو خليفة ظالم , وسواء خرجوا على تأويل في الدين , أو أرادوا لأنفسهم دنيا , فانهم كلهم بغاة ما داموا شهروا السيف في وجه سلطان الإسلام .

”Tidak ada beda apakah [golongan bughat itu] memberontak kepada khalifah yang adil atau khalifah yang zalim, baik karena alasan ta`wil dalam agama maupun menghendaki dunia (seperti harta atau jabatan). Semuanya adalah bughat, selama mereka mengangkat senjata untuk melawan kekuasaan Islam (sulthan al-islam).” (Al-Maliki, 1990:79)

UQUBAH JARIMAH BUGHAT
Kekhususan dalam Menghadapi Bughat, Imam Al-Mawardi menjelaskan ada 8 perbedaan antara memerangi para pemberontak kaum Muslimin dengan memerangi orang-orang Musyrik dan orang-orang murtad.
Peperangan terhadap para pemberontak kaum muslimin dimaksudkan untuk menghentikan pemberontakan mereka dan sama sekali tidak dimaksudkan untuk membunuh mereka. Di sisi lain dibenarkan peperangan terhadap orang-orang musyrik dan orang-orang murtad dimaksudkan untuk membunuh mereka.
Para pemberontak kaum muslimin baru boleh diserang, jika mereka maju menyerang. Jika mereka mundur dari medan perang, mereka tidak boleh diserang. Di sisi lain, diperbolehkan menyerang orang-orang musyrik dan orang-orang murtad; mereka maju menyerang atau mundur.
Orang-orang terluka dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain diperbolehkan membunuh orang-orang terluka dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad. Pada Perang Jamal, Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu memerintahkan penyerunya untuk berseru dengan suara keras, “Orang yang telah mundur dari medan perang tidak boleh diserang, dan orang yang terluka tidak boleh dibunuh.”
Tawanan-tawanan yang berasal dari para pemberontak tidak boleh dibunuh. Di sisi lain tawanan-tawanan dari orang-orang musyrik dan orang-orang murtad boleh dibunuh. Kondisi tawanan perang dari para pemberontak harus diperhatikan dengan cermat ; jika ia diyakini tidak kembali berperang (memberontak), ia dibebaskan. Jika ia diyakini kembali berperang (memberontak), ia tetap ditawan hingga perang usai. Jika perang telah usai, ia dibebaskan dan tidak boleh ditawan sesudah perang. Al-Hajjaj pernah membebaskan salah seorang tawanan dari sahabat-sahabat Qathri bin Al-Fuja’ah, karena keduanya saling kenal. Al-Qathri berkata kepada tawanan tersebut, “kembalilah berperang melawan musuh Allah, Al-Hajjaj.” Tawanan tersebut menjawab, “Aduh, kalau begitu dua tangan orang yang telah dibebaskan telah berkhianat, dan memperbudak leher orang yang membebaskannya!”
Harta para pemberontak tidak boleh diambil, dan anak-anak mereka tidak boleh disandera. Diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda,

منعت دار الإسلام ما فيها، وأباحت دار الشرك ما فيها.
Dilindungi apa saja yang ada di negara Islam, dan dihalalkan apa saja yang ada di negara musyrik.
Dalam memerangi para pemberontak, negara Islam tidak diperbolehkan meminta bantuan orang kafir muahid (yang berdamai dengan kaum muslimin), atau orang kafir dzimmi (kafir yang berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin dengan membayar jizyah dalam jumlah tertentu), kendati hal tersebut dibenarkan ketika negara Islam memerangi orang-orang musyrik, dan orang-orang murtad.
Negara Islam tidak boleh berdamai dengan mereka untuk jangka waktu tertentu dan juga tidak boleh berdamai dengan mereka dengan kompensasi uang. Jika komandan perang pasukan Islam berdamai dengan mereka dalam jangka waktu tertentu, ia tidak harus memenuhinya. Jika ia tidak sanggup memerangi mereka, ia menunggu datangnya bantuan pasukan untuk menghadapi mereka. Jika ia berdamai dengan mereka, dengan kompensasi uang, maka perdamaian batal, dan uang perdamaian diperhatikan dengan baik; jika uang tersebut berasal dari fai’ mereka atau berasal dari sedekah (zakat) mereka, maka uang tersebut tidak dikembalikan kepada mereka, kemudian sedekah (zakat) tersebut didistribusikan kepada para penerimanya dari kaum muslimin, dan fai’ dibagi-bagikan pada penerimanya. Jika uang perdamaian murni dari mereka, uang tersebut tidak boleh dimiliki pasukan Islam dan harus dikembalikan kepada mereka.
Pasukan Islam tidak boleh menyerang mereka dengan menggunakan senjata al-arradat (senjata pelempar batu), rumah-rumah mereka tidak boleh dibakar, kurma-kurma dan pohon-pohon mereka tidak boleh ditebang, karena itu semua berada di dalam negara Islam yang terlindungi, kendati warganya memberontak.
MURTAD
Pengertian
Definisi Murtad adalah Meninggalkan dan atau keluar dari ajaran Islam baik secara niat [niyyatun] dan perbuatan/tingkah laku [khuluqun] untuk kemudian memeluk dan atau menjalankan ajaran diluar Islam. Murtad masuk dalam satu tindakan yang kufur dan hina [ihtaqoro], bahkan Islam menganggap murtad adalah sebuah perbuatan yang keji [fasyaa'i]. karena murtad dianggap menghina [yahtaqiru] 1)Islam, (2)Allah SWT, dan (3) Nabi Muhammad SAW.

Dasar Hukum
“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah [134]. Dan berbuat fitnah [135] lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” [Al.Baqarah :217]

Hukuman Bagi Orang Murtad :
A. Hukuman Utama [Bunuh ]
Sebelum hukuman bunuh diberikan, islam memberikan “kesempatan” kepada si murtad untuk bertobat. Cara islam menerapkan hukum pertaubatan ini dengan cara si murtad harus menjalankan beberapa hal dibawah ini:
• Kembali mengucapkan kalimat syahadat
• Membuat pengakuan apa yang menjadi penyebab dia murtad, untuk kemudian berikrar akan meninggalkan ajaran selain islam
• Menyatakan dengan ikrar [diluar pembacaan syahadat], bahwa dia sungguh-sungguh telah bertaubat atas sikapnya mempercayai dan atau menjalankan ajaran diluar islam, dan akhirnya mengakui tuhan itu cuma satu = ALLAH SWT dan Muhammad = nabi akhir jaman.
Apabila saran bertaubat diabaikan. Maka hukuman utama [BUNUH] wajib dilaksanakan dengan cara hukuman pancung. Sebagaimana yang tertulis dalam hadist
(1)”bagi siapa yang keluar dari islam hendaklah dibunuh” [Hadis riwayat al-Bukhari], (2)Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asyari RA,”Nabi berkata pergilah engkau ke negeri Yaman, kemudian baginda mengantarkan Muaz bin Jabal. Ketika Muaz sampai ke tempat Abu Musa, Abu Musa menjemput Muaz dengan memberikan bantal dan mempersilahkan duduk, sedangkan di majelis itu ada seorang yang badannya diikat, Muaz bertanya, Ada apa dengan orang ini? Abu Musa menjawab, dulu dia Yahudi kemudian dia memeluk islam dan sekarang kembali menganut agama Yahudi. Muaz berkata, aku tidak akan duduk sampai orang ini dibunuh terlebih dahulu [hadist riwayat al-bukhari dan Muslim]
Hukuman utama [bunuh] yang diterapkan kepada wanita murtad
Menurut Syafi´i, Hambali dan Maliki:
Hukuman bagi wanita murtad sama dengan lelaki murtad. Selama 3 hari ia harus diminta untuk kembali kepada Islam, sebelum kematiannya, karena kemungkinan orang zalim telah membingungkan pengertiannya, sehingga ada kemungkinan ia bisa dibebaskan dari kebingungannya. Menawarkan sang murtad sebuah batas waktu untuk bertobat sudah disetujui.
Menurut sebuah tradisi yang disampaikan Daruqutni, mengutip Djabir bin Abdillah, nabi menawarkan Islam kepada seorang wanita bernama Ummu Rumman yang murtad. NABI saw mengatakan, "Bagus jika ia bertobat. Jika tidak, ia harus dibunuh, karena sebagai murtad ia harus diperlakukan sebagai wanita yang memerangi Muslim, ditawan dalam perang suci (jihad); dan oleh karena itu halal untuk membunuhnya dengan pedang…"

Menurut Maliki:
Kematian seorang wanita yang sedang menyusui harus ditunda sampai waktu menyusui bayinya selesai dan tidak ditemukan seorang pengganti yang dapat menyusui bayinya, atau jika bayi itu tidak dapat menerima wanita lain selain ibunya. Kematian seorang wanita menikah dan janda cerai yang diberikan opsi untuk kembali ke Islam (talaqu radj’a) juga harus ditunda. Bagi janda cerai yang menolak untuk kembali ke Islam, ia harus dibunuh tanpa ragu-ragu, kecuali ia sedang datang bulan (bahkan jika ia menstruasi sekali dalam lima tahun).
Kalau ia tidak datang bulan, karena kondisi badan lemah atau menopause yang diragukan, ia harus dibiarkan selama 3 bulan, kalau ia hamil. Kalau ia ternyata tidak hamil, ia harus segera dibunuh setelah diminta untuk bertobat. Jika tidak menikah, ia tidak boleh dibebaskan dari hukuman.

Menurut Hanafi:
Wanita murtad tidak boleh dibunuh; tetapi jika ia membunuh orang lain, ia tidak boleh dipenjara, entah ia wanita bebas atau budak, karena nabi melarang bahwa wanita harus dibunuh. Lebih baik untuk menangguhkan hukuman di Akhirat, karena mempercepat hukuman hanyalah melanggar konsep ‘tribulation’ (mabada’ al-Ibtila’). Satu-satunya pengecualian adalah bagi Darul Harb (Wawasan Perang). Namun, wanita di masa perang, lain dengan lelaki, tidak berada dalam bahaya nyata, jadi sang murtad wanita harus diperlakukan seakan ia belum pernah menjadi Muslim.
Wanita murtad harus dipenjara sampai ia kembali ke Islam atau mati, ( dihukum pecut 39 kali per hari – yang merupakan hal yang tidak kurang dari kematian; pecutan yang tidak terputus akhirnya akan mengakibatkan kematian. Ia harus dipenjara karena ia, setelah menjadi Muslim, tidak memberi Allah apa yang menjadi hakNya; sehingga ia harus diwajibkan agar menebus hak-Nya ini dengan pemenjaraannya).
Menurut tradisi dalam al-djamius’s-sagir, sang wanita, entah bebas ataupun budak, harus di paksa untuk kembali memeluk Islam. Seorang gundik harus dipaksa oleh pemiliknya, karena adanya dua hak disini : hak Allah dan hak pemiliknya. Wanita bebas yang murtad tidak akan diperbudak asal ia berada dalam Darul Islam. Tetapi ia harus dipukuli secara eksesif setiap hari, guna memaksanya untuk kembali ke Islam dan mendapatkan kembali budayanya; kalau tidak, suami Muslimnya akan mewarisi seluruh hartanya.
Abu Yusuf, mengutip Abu Hanafi, mengutip Asem Ibn Abi al-Gunud, mengutip dari Abi Razin, mengutip dari Ibn Abbas mengatakan: "Jangan membunuh wanita jika mereka murtad dari Islam. Mereka harus dipenjara, ditawarkan kesempatan untuk kembali ke Islam dan lalu dipaksa untuk kembali ke Islam."
Dikutip dari Ibn Umar bahwa seorang wanita dibunuh saat berlangsungnya salah satu perebutan kawasan oleh nabi. Oleh karena itu, Rasulullah saw melarang pembunuhan wanita dan anak-anak.


B. Hukuman Alternatif [Penjara]
Bahwa si murtad akan dipenjarakan hingga dia melakukan pertaubatan, dan selama dalam penjara, bagi lelaki wajib kerja rodi dan cambuk, serta bagi wanita tidak wajib kerja rodi tetapi tetap dicambuk.
C. Hukuman Kepemilikan [Pengambil Alihan Harta]
Bahwa seluruh harta si murtad, dihalalkan untuk diambil alih/dirampas/dimiliki oleh (1) pemerintahan islam, (2) kelompok organisasi islam, dan (3) keluarga. Harta akan dikembalikan kepada si murtad apabila dia sudah bertobat.


Daftar Pustaka
• Muhammad Khayr Haikal , Al-Jihad wa Al-Qital fi As-Siyasah Asy-Syar’iyyah
• Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islamiy,
• Syaikhul Islam Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab
• Syaikh Abdurrahman Al-Maliki, Nizham Al-Uqubat,

kebangkitan BPR Syariah di Indonesia

Pengertian BPR Syariah
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menurut Undang-Undang (UU) Perbankan No. 7 Tahun 1992, adalah lembaga keuangan bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dan menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Sedangkan pada UU Perbankan No. 10 tahun 1988, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvesional atau berdasarkan prinsip syari'ah.
Sedangkan menurut PBI No. 11/23/2009 Keberadaan BPRS dimaksudkan untuk dapat memberikan layanan perbankan secara cepat, mudah, dan sederhana kepada masyarakat khususnya pengusaha menengah, kecil, dan mikro baik di perdesaan maupun perkotaan yang selama ini belum terjangkau oleh layanan bank umum. Dalam hal ini, secara teknis BPR Syariah bisa diartikan sebagai lembaga keuangan sebagaimana BPR konvesional, yang operasinya menggunakan prinsip-prinsip syariah.

Ketentuan Dalam Pendirian BPR Syariah
Syarat Pendirian
Dalam mendirikan BPR syariah harus mengacu pada bentuk hukum BPR syariah yang telah ditentukan dalam UU Perbankan. Sebagaimana dalam UU Perbankan No. 10 tahun 1998 pasal 2, bentuk hukum suatu BPR syariah dapat berupa:
1) Perseroan Terbatas
2) Koperasi; atau
3) Perusahaan Daerah
Adapun syarat-syarat untuk pendirian BPR syari'ah adalah sebagai berikut:
1) BPR syariah hanya dapat didiriklan dan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip daerah dengan ijin Direksi Bank Indonesia.
2) BPR syariah hanya didirikan dan dimiliki oleh:
a. Warga Negara Indonesia
b. Badan Hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya oleh warga Negara Indonesia.
c. Pemerintah daerah, atau
d. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
Pemberian ijin pendirian BPR syariah, sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan dengan dua tahap:
1) Persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian BPR syariah
2) Ijin usaha, yaitu ijin yang diberikan untuk melakukan kegiatan usaha BPR syariah setelah persiapanpersetujuan prinsip dilakukan.
SK DIR BI No. 32/36/1999 tidak memberikan kemungkinan bagi pihak asing untuk mendirikan BPR syariah. Menurut ketentuan pasal 15 SK DIR BI tersebut, yang dapat menjadi pemilik BPR syariah adalah pihak-pihak yang:
1) Tidak termasuk dalam daftar orang tercela di bidang perbakan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
2) Menurut penilaian Bank Indonesia yang bersangkutan memiliki integritas yang baik, antara lain:
a. Memiliki akhlak dan moral yang baik
b. Mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Bersedia mengembangkan BPR syariah yang sehat
Selain dari persyaratan di atas, khusus untuk dapat menjadi anggota Dewan Komisaris BPR syariah ditentukan pula bahwa yang bersangkutan wajib memiliki pengetahuan dan atau pengalaman di bidang perbankan. Ketentuan ini tidak mengharuskan yang bersangkutan memiliki pengetahuan dan pengalaman di perbankan syariah. Sedangkan Anggota Direksi sekurang-kurangnya berpendidikan formal setingkat Diploma III atau Sarjana Muda.
Menyangkut komposisi Anggota Direksi, sekurang-kurangnya 50% (limapuluh persen) dari anggota Direksi BPR syariah wajib berpengalaman operasional di bidang perbankan syariah sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai pejabat di bidang pendanaan dan pembiayaan.
Berbeda dengan persyaratan anggota Dewan Komisaris dalam hal persyaratan bagi anggota Direksi ditegaskan bahwa yang bersangkutan harus memiliki pengalaman di bidang perbankan syariah. Bahkan ditentukan pengalamannya itu sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan harus di bidang pendanaan dan atau pembiayaan. Bagi anggota Direksi yang belum berpengalaman operasional di bidang perbankan syariah wajib mengikuti pelatihan perbankan syariah.
Direksi BPR syariah dilarang untuk merangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau pejabat eksekutif pada lembaga perbankan, perusahaan atau lembaga lain. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai tugas anggota Direksi yang bersangkutan tidak efektif sebagai anggota Dewan Komisaris BPR syariah yang bersangkutan, karena terlalu banyak melakukan perangkapan jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris di tempat lain.
Anggota Dewan Komisaris BPR syariah tiodak dilarang merangkap jabatan lain, namun membatasi perangkapan itu sebagaimana ditentukan dalam pasal 22 ayat (3), yaitu hanya dapat merangkap jabatan sebagai komisaris sebanyak-banyaknya pada 3 (tiga) BPR syariah. Anggota Dewan Komisaris BPR syariah dilarang menjabat sebagai anggota Direksi Bank Umum. Anggota Dewan Komisaris BPR syariah tidak dilarang untuk dapat menjadi Anggota Direksi BPR syariah lain.
Dalam hal terjadi penggantian anggota komisaris dan atau Direksi BPR syariah, calon pengganti jabatan tersebut wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia sebelum diangkat dan menduduki jabatannya. Demikian juga kalau ada penggantian atau penambahan pemiliki BPR syariah wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.

Usaha-Usaha BPR Syariah
Sesuai UU Perbankan No. 10 tahun 1998, BPR syariah hanya dapat melaksanakan usaha-usaha sebagai berikut:
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2) Memberikan kredit.
3) Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang diterapkan oleh Bank Indonesia.
4) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.

Pembatasan usaha BPR syariah secara lebih tegas dijelaskan dalam pasal 27 SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999. Menurut surat keputusan ini, kegiatan operasional BPR syariah adalah:
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi:
a. Tabungan berdasarkan prinsip wadiah atau mudharabah
b. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah
c. Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah atau mudharabah
2) Melakukan penyaluran dana melalui:
a. Transaksi jual-beli berdasarkan prinsip:
a) Murabahah
b) Istishna
c) Ijarah
d) Salam
e) Jual beli kainnya.
b. Pembiayaan bagi hasil bedasarkan prinsip:
a) Mudharabah
b) Musyarakah
c) Bagi hasil lainnya.
c. Pembiayaan Prinsip berdasarkan prinsip:
a) Rahn
b) Qardh
3) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR syariah sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.

Tujuan BPR Syari'ah
Adapun tujuan yang dikehendaki dengan berdirinya BPR Syariah adalah:
1) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi umat Islam, terutama masyarakat golongan ekonomi lemah yang pada umumnya berada di daerah pedesaan
2) Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat mengurangi arus urbanisasi
3) Membina semangat ukhuwah islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka meningkatkan pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.
Untuk mencapai tujuan operasional BPR syariah tersebut diperlukan strategi operasional sebagai berikut:
1) BPR syariah tidah bersifat menunggu terhadap datangnya permintaan fasilitas, melainkan bersifat aktif dengan melakukan sosialisasi/penelitian kepada usaha-usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki prospek bisnis yang baik.
2) BPR Syariah memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek dengan mengutamakan usaha skala menengah dan kecil.
3) BPR Syariah mengkaji pasar, tingkat kejenuhan serta tingkat kompetitifnyaproduk yang akan diberi pembiayaan.

Modal
Sesuai PBI No. 11/23/2009 Modal yang harus disetor untuk mendirikan BPR syariah ditetapkan sekurang-kurangnya sebesar:
1) Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di wilayah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan Kabupaten/Kotamadya Tanggerang, Bogor, Bekasi dan Karawang.
2) Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di wilayah Ibu kota Propinsi di luar wilayah seperti tersebut diatas.
3) Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk BPR syariah yang didirikan di wilayah yang tersebut pada butir a dan b diatas. Mengingat kondisi dan perkembangan perekonomian daerah yang berbeda-beda, maka Bank Indonesia dapat meminta calon pemilik BPRS untuk menyediakan modal disetor di atas jumlah minimum yang dipersyaratkan.
Modal yang disetor tersebut, yang digunakan untuk modal kerja bagi BPR syariah, wajib sekurang-kurangnya berjumlah 50% (lima puluh persen). Dengan kata lain, biaya investasi dalam rangka pendirian BPR syariah itu tidak boleh melebihi 50% dari modal yang disetor oleh pendirinya. Sumber dana yang digunakan dalam rangka kepemilikan dilarang:
1) Berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan atau pihak lain di Indonesia.
2) Berasal dari sumber yang diharamkan menurut prinsip syariah, termasuk kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum.

Organisasi/Manajemen BPRS
Kepengurusan
Menurut pasal 19 SK DIR BI 32/36/1999, kepengurusan BPR syariah terdiri dari Dewan Komisaris dan Direksi disanping kepengurusan, suatu BPR syariah wajib pula memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berfungsi mengawasi kegiatan BPR syariah. Jumlah anggota Dewan Komisaris BPR syariah harus sekurang-kurangnya 1 (satu) orang. Sedangkan direksi BPR syariah sekurang-kurangnya harus 2 (dua) orang.
Anggota Direksi dilarang mempunyai hubungan keluarga dengan:
Anggota Direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua termasuk mertua, anak termasuk menantu, saudara kandung termasuk ipar, suami/istri.
Dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua, anak, dan suami/istri.
Untuk menjaga kosistensi dan kelangsungan usaha BPR syariah, ditentukan bahwa:
BPR syariah dilarang melakukan kegiatan usaha secara konvensional
BPR syariah tidak diperkenankan untuk mengubah kegiatan usahanya untuk menjadi BPR konvensional
BPR syariah yang semula memiliki ijin usahanya sebagai BPR konvensional dan telah memperoleh ijin perubahan kegiatan usaha menjadi berdasarkan prinsip syariah, tidak diperkenankan untuk mengubah status menjadi BPR konvensional.
BPR syariah telah mendapatkan ijin usaha dari Direksi Bank Indonesia wajib melakukan kegiatan usaha selambat-lambatnya 60 (enampuluh) hari perhitungan sejak tanggal ijin usaha dikeluarkan. Sedangkan laporan pelaksanaan kegiatan usaha wajib disampaikan oleh Direksi BPR syariah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari setelah tanggal dimulainya kegiatan operasional. Apabila dalam waktu melaksanakan kegiatan usaha lebih dari waktu yang telah ditentukan maka Direksi Bank Indonesia membatalkan ijin usaha yang telah dikeluarkan.



Pembukaan Kantor Cabang BPR Syariah
Pembukaan Kantor Cabang BPRS harus berlokasi dalam 1 (satu) wilayah propinsi yang sama dengan kantor pusatnya dan telah tercantum dalam rencana kerja tahunan BPRS serta didukung dengan teknologi sistem informasi yang memadai. Pembukaan kantor cabang BPR syariah dapat dilakukan hanya dengan ijin Direksi Bank Indonesia. Rencana pembukaan kantor cabang wajib dicantumkan dalam rencana tahunan BPR syariah.
BPR syariah yang akan membuka kantor cabang wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan selama 12 (duabelas) bulan terakhir tergolong sehat. BPRS yang akan membuka Kantor Cabang harus menambah modal disetor paling kurang sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari ketentuan modal minimal sesuai dengan lokasi pembukaan Kantor Cabang. Pemindahan alamat kantor pusat dan Kantor Cabang hanya dapat dilakukan dalam wilayah Kabupaten/Kota yang sama dan harus mempertimbangkan kepentingan nasabah, serta mendapat izin dari Bank Indonesia.
Pembukaan, Pemindahan, dan Penutupan Kegiatan Kas di luar Kantor wajib dilaporkan oleh Direksi BPRS kepada Bank Indonesia secara semesteran untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember. Penutupan sementara kantor BPRS di luar hari libur resmi wajib memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.

Perbedaan BPR Syariah dengan Bank Umum Syariah
Dibanding bank umum syariah, kegiatan operasional yang dapat dilakukan BPR syariah lebih terbatas. Sebagaimana diatur dalam SK Direktur BI No. 32/36/KEP/DIR/1999, BPR syariah tidak diijinkan untuk menerima dana simpanan dalam bentuk giro sekalipun hal itu dilakukan dalam bentuk wadiah. Begitu juga BPR syariah dilarang untuk:
Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing
Melalukan penyertaan modal
Melakukan usaha perasuransian.

leasing suatu gaya baru memiliki harta

LEASING

Sekilas Pengertian Leasing
Leasing menurut SKB Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No. KEP- 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama”
Equipment Leasing Association di London memberikan definisi leasing sebagai berikut: “Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa sesuatu atas barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak pemilikan barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukan.
Secara umum leasing artinya Equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam suatu transaksi lease biasanya terdapat 2 partisipan.
1. Lessor (orang yang menyewakan)
2. Lessee (orang yang menyewa)

Untuk lebih memahami lebih jelas biasanya lessor atau orang yang menyewakan adalah Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Financial Lease maupun Operating Lease untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Dan lessee adalah orang atau instansi / Perusahaan yang menyewa baik itu bangunan, tanah, ataupun mesin mesin.
Dalam realitasnya, leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu. Leasing ini ada dua katagori global, yaitu operating lease dan financial lease. Operating lease merupakan suatu proses menyewa suatu barang untuk mendapatkan hanya manfaat barang yang disewanya, sedangkan barangnya itu sendiri tetap merupakan milik bagi pihak pemberi sewa. Sewa jenis pertama ini berpadanan dengan konsep ijarah di dalam syariah Islam yang secara hukum Islam diperbolehkan dan tidak ada masalah.
Adapun financial lease merupakan suatu bentuk sewa dimana kepemilikan barang tersebut berpindah dari pihak pemberi sewa kepada penyewa. Bila dalam masa akhir sewa pihak penyewa tidak dapat melunasi sewanya, barang tersebut tetap merupakan milik pemberi sewa (perusahaan leasing). Akadnya dianggap sebagai akad sewa.
Sedangkan bila pada masa akhir sewa pihak penyewa dapat melunasi cicilannya maka barang tersebut menjadi milik penyewa. Biasanya pengalihan pemilikan ini dengan alasan hadiah pada akhir penyewaan, pemberian cuma-cuma, atau janji dan alasan lainnya. Intinya, dalam financial lease terdapat dua proses akad sekaligus yaitu sewa sekaligus beli. Dan inilah sebabnya mengapa leasing bentuk ini disebut sebagai sewa-beli.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka pada prinsipnya pengertian leasing terdiri dari beberapa elemen di bawah ini:
1. Pembiayaan perusahaan
2. Penyediaan barang-barang modal
3. Jangka waktu tertentu
4. Pembayaran secara berkala
5. Adanya hak pilih (option right)
6. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama
7. Adanya pihak lessor
8. Adanya pihak lessee

Macam-Macam Bentuk Aktivitas Leasing.
1. Capital Lease
Perusahaan leasing pada jenis ini berlaku sebagai suatu lembaga keuangan. Lessee yang akan membutuhkan suatu barang modal menentukan sendiri jenis serta spesifikasi dari barang yang dibutuhkan. Lessee juga mengadakan negoisasi langsung dengan supplier mengenai harga, syarat-syarat perawatan serta hal-hal lain yang berhubungan dengan pengoperasian barang tersebut.
Lessor akan mengeluarkan dananya untuk membayar barang tersebut kepada supplier dan kemudian barang tersebut diserahkan kepada lessee. Sebagai imbalan atas jasa pengguanaan barang tersebut lessee akan membayar secara berkala kepada lessor sejumlah uang yang berupa rental untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati bersama.
Jumlah rental ini secara keseluruhan akan meliputi harga barang yang dibayar oleh lessor ditambah faktor bunga serta keuntungan pihak lessor. Selanjutnya capital atau finance lease masih bisa dibedakan menjadi dua yaitu:

a. Direct finance lease
Transaksi ini terjadi jika lessee sebelumnya belum pernah memiliki barang yang dijadikan objek lease. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa lessor membeli suatu barang atas permintaan lessee dan akan dipergunakan oleh lessee.

b. Sale and lease back
Sesuai dengan namanya, dalam transaksi ini lessee menjual barang yang telah dimilikinya kepada lessor. Atas barang yang sama ini kemudian dilakukan suatu kontrak leasing antara lessee dengan lessor. Dengan memperhatikan mekanisme ini, maka perjanjian ini memiliki tujuan yang berbeda dibandingkan dengan direct finance lease. Di sini lessee memerlukan cash yang bisa dipergunakan untuk tambahan modal kerja atau untuk kepentingan lainnya. Bisa dikatakan bahwa dengan sistem sale and lease back memungkinkan lessor memberikan dana untuk keperluan apa saja kepada kliennya dan tentu saja dana yang dibutuhkan sesuai dengan nilai objek barang lease.

2. Operating Lease
Pada operating lease, lessor membeli barang dan kemudian menyewakan kepada lessee untuk jangka waktu tertentu. Dalam praktik lessee membayar rental yang besarnya secara keseluruhan tidak meliputi harga barang serta biaya yang telah dikeluarkan oleh lessor.
Di dalam menentukan besarnya pembayaran lease, lessor tidak memperhitungkan biaya-biaya tersebut karena setelah masa lease berakhir diharapkan harga barang tersebut masih cukup tinggi. Di sini jelas tidak ditentukan adanya nilai sisa serta hak opsi bagi lessee.

3. Sales type lease (Lease Penjualan)
Lease penjualan biasanya dilakukan oleh perusahaan industri yang menjual lease barang hasil produksinya. Dalam kontrak penjualan lease diakui dua macam pendapatan yaitu pendapatan penjualan barang dan pendapatan bunga atas jasa pembelanjaan selama jangka waktu lease.

4. Leverage Lease
Pada leasing ini dilibatkan pihak ketiga yang disebut credit provider. Lessor tidak membiayai objek leasing hingga sebesar 100% dari harga barang melainkan hanya antara 20% hingga 40%. Kemudian sisa dari harga barang tersebut akan dibiayai oleh credit provider.

5. Cross Border Lease
Transaksi pada jenis ini merupakan suatu transaksi leasing yang dilakukan dengan melewati batas suatu negara. Dengan demikian antara lessor dan lessee terletak pada dua negara yang berbeda. Barang-barang atau peralatan yang ditransaksikan dalam cross border lease meliputi nilai jutaan dollar Amerika Serikat. Seperti Pesawat terbang bermesin jet dari Pabrikan Boeing dan Airbus.

Prosedur Mekanisme Leasing
Dalam melakukan perjanjian leasing terdapat prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan yang secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Lessee bebas memilih dan menentukan peralatan yang dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier peralatan yang dimaksudkan.
2. Setelah lessee mengisi formulir permohonan lease, maka dikirimkan kepada lessor disertai dokumen lengkap.
3. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang disetujui lessee (lama kontrak pembayaran sewa lease), setelah ini maka kontrak lease dapat ditandatangani.
4. Pada saat yang sama, lessee dapat menandatangani kontrak asuransi untuk peralatan yang dilease dangan perusahaan asuransi yang disetujui lessor, seperti yang tercantum dalam kontrak lease. Antara lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
5. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan supplier peralatan tersebut.
6. Supplier dapat mengirimkan peralatan yang dilease ke lokasi lessee. Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian purna jual.
7. Lessee menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan kepada suppplier.
8. Supplier menyerahkan tanda terima (yang diterima dari lessee), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada lessor.
9. Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier.
10. Lessee membayar sewa lease secara periodik sesuai dengan jadwal pembayaran yang telah ditentukan dalam kontrak lease.

Beberapa Persoalan/problematika dalam Leasing (Sewa-Beli)
Leasing memiliki beberapa keuntungan antara lain:
1. Fleksibel, artinya struktur kontrak dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan yaitu besarnya pembayaran atau periode lease dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan kondisi perusahaan.

2. Tidak diperlukan jaminan, karena hak kepemilikan sah atas aktiva yang di lease serta pengaturan pembayaran lease sesuai dengan pendapatan yang dihasilkan oleh aktiva yang dilease sudah merupakan jaminan bagi lease itu sendiri.

3. Capital saving, yaitu tidak menyediakan dana yang besar, maksimum hanya menyediakan down payment yang jumlahnya dalam kebiasaan lease tidak terlalu besar, jadi dalam hal ini bisa dikatakan menjadi suatu penghematan modal bagi lessee, yaitu lessee dapat menggunakan modal yang tersedia untuk keperluan lain. Karena leasing umumnya membiayai 100% barang modal yang dibutuhkan.

4. Cepat dalam pelayanan, artinya secara prosedur leasing lebih sederhana dan relatif lebih cepat dalam realisasi pembiayaan bila dibandingkan dengan kredit investasi bank, jadi tanpa prosedur yang rumit dan hal itu memberikan kemudahan bagi para pengusaha untuk memperoleh mesin-mesin dan peralatan yang mutakhir untuk memungkinkan dibukanya suatu bidang usaha produksi yang baru atau untuk memodernisasi perusahaan.

5. Pembayaran angsuran lease diperlakukan sebagai biaya operasional, artinya pembayaran lease langsung dihitung sebagai biaya dalam penentuan laba rugi perusahaan, jadi pembayarannya dihitung dari pendapatan sebelum pajak, bukan dari laba yang terkena pajak.

6. Sebagai pelindung terhadap inflasi, artinya terhindar dari resiko penurunan nilai uang yang disebabkan oleh inflasi, yaitu lessee sampai kapan pun tetap membayar dengan satuan moneter yang lalu terhadap sisa kewajibannya.

7. Adanya hak opsi bagi lessee pada akhir masa lease.

8. Adanya kepastian hukum, artinya suatu perjanjian leasing tidak dapat dibatalkan dalam keadaan keuangan umum yang sangat sulit, sehingga dalam keadaan keuangan atau moneter yang sesulit apapun perjanjian leasing tetap berlaku.

9. Terkadang leasing merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan aktiva bagi suatu perusahaan, terutama perusahaan ekonomi lemah, untuk dapat memodernisasi pabriknya.

Secara ringkasnya, keuntungan dari leasing adalah :
1. Manajemen Arus Kas
Umumnya, lease payment lebih rendah dibandingkan dengan loan payment Sehingga, kelebihan dana yang ada dapat digunakan untuk kepentingan lainnya. Selain itu, dengan melakukan leasing maka Anda akan mengetahui jumlah lease payment sepanjang periode leasing tersebut. Sehingga, Anda dapat memprediksikan kebutuhan kas secara akurat.

2. Manajemen Neraca
Operating lease tidak dianggap sebagai utang jangka panjang atau liability, sehingga tidak muncul sebagai utang dalam laporan keuangan. Sehingga hal ini menguntungkan jika perusahaan ingin memperoleh pendanaan.

3. Fleksibel
Kesepakatan dalam leasing lebih fleksibel dibandingkan dengan utang dalam bentuk pinjaman. Jika pinjaman memiliki term yang sudah terstruktur, maka dalam kesepakatan leasing kita bisa lebih fleksibel baik dalam hal arus kas, anggaran, transaksi dan lainnya.

4. Pajak
Dengan melakukan leasing, maka kita memperoleh keuntungan pajak karena pembayaran sewa merupakan unsure biaya yang dapat mengurangi pajak.

5. Convenience(Kenyamanan)
Melalui leasing, kita dapat memperbarui atau mengupgrade peralatan/mesin lama tanpa harus membeli.

Namun dibalik keuntungan, leasing juga memiliki kelemahan sebagai berikut:
1. Tidak Ada Kepemilikan
Karena leasing merupakan sewa, maka selama periode leasing tersebut kepemilikan tidak ada pada kita sebagai lessee. Karena kepemilikan tidak ada pada kita, maka sewaktu-waktu kita tidak dapat menjualnya jika dibutuhkan. Opsi pembelian ada pada akhir kesepakatan, namun biasanya mahal.

2. Pengeluaran Jangka Panjang
Biaya leasing merupakan biaya jangka panjang yang harus ditanggung selama periode leasing. Biaya leasing juga sudah meliputi biaya risiko yang ditanggung atas kepemilikan aset tersebut. Selain itu, biaya asuransi dan pajak juga sudah termasuk dalam biaya leasing yang kita tanggung. Implikasinya, selama beberapa tahun periode leasing, kita harus menanggung biaya tinggi leasing tanpa benar-benar memiliki barang tersebut.

3. Maintenance
Walaupun tidak memiliki, namun sebagai lessor kita harus bertanggung jawab atas maintenance atau pemeliharaan aktiva tersebut. Oleh karena itu kita harus menyiapkan personalia yang mampu memperbaiki mesin/peralatan tersebut jika bermasalah, karena biayanya bisa sangat tinggi jika terjadi kerusakan. Beberapa perusahaan leasing bersedia menangani biaya maintenance dan perbaikan namun tentunya biaya bulanan yang harus kita keluarkan juga akan meningkat.

Dalam memutuskan untuk leasing atau tidaknya, maka perusahaan harus mempertimbangkan baik-baik mengenai biaya dan manfaat yang dihasilkan. Jika biaya lebih tinggi dibandingkan manfaat, mungkin lebih baik jika membeli. Namun jika ternyata manfaat lebih banyak, maka bukan tidak mungkin keputusan tersebut bisa menjadi kunci sukses perusahaan.

Hukum Leasing Berdasarkan Kaidah Akad
Merujuk pada kenyataan di atas, nampak bahwa dalam sewa-beli terdapat dua bentuk muamalah yang berbeda dalam satu proses yang bersamaan. Sewa sekaligus beli. Sampai di sini terdapat minimal dua persoalan yang memerlukan kajian, yaitu perbedaan sewa dan beli, serta kedudukan dua akad sekaligus dalam suatu proses muamalah.
Pertama, perbedaan sewa dan beli. Dalam hukum muamalah Islam sangat berbeda antara sewa dengan beli. Sewa (ijarah) merupakan suatu akad untuk mendapatkan suatu manfaat dari barang, jasa, ataupun orang dengan adanya kompensasi tertentu, biasanya berupa uang (‘aqdun ‘alal manfaat bi ‘iwadh). Jadi, pihak penyewa mendapatkan hanya manfaat yang dikandung oleh barang yang disewanya. Adapun barangnya itu sendiri tetap merupakan hak milik pihak pemberi sewa.
Hal ini berbeda sekali dengan jual beli. Secara syar’iy, jual-beli (al bai’) merupakan mubadalatu malin bi malin tamlikan wa tamallukan ‘ala sabilit taradhi, yaitu pertukaran antara suatu barang dengan barang lain (termasuk uang) untuk pertukaran kepemilikan di atas dasar saling meridloi satu sama lain. Berdasarkan hal ini, barang dari pihak penjual akan menjadi milik dari pihak pembeli.
Sebaliknya, uang atau barang (bila barter) dari pihak pembeli akan langsung menjadi milik pihak penjual. Proses jual-beli ini, tentu saja, dapat kontan dan bisa pula dilakukan dengan cicilan (kredit). Jelaslah, perbedaan mendasar antara sewa dengan beli terletak pada siapa yang berhak memiliki barang pada akhir masa transaksi. Dengan demikian, akad yang terjadi antara sewa sangat berbeda dengan akad pada jual-beli.
Akad sewa berkonsekuensi pada tetap dimilikinya barang oleh pihak pemilik barang, sedangkan pihak penyewa hanya boleh memanfaatkan barang tersebut selama masa penyewaan. Sedangkan akad jual-beli berujung pada pertukaran kepemilikan dari penjual ke pembeli dan dari pembeli ke penjual.
Kedua, Rasulullah SAW melarang dua akad berbeda terjadi dalam satu aktivitas muamalah. “Rasulullah SAW melarang (kaum muslimin) dua akad dalam suatu proses akad tertentu, “ demikian diriwayatkan oleh Imam Ahmad tentang larangan Rasulullah SAW.
Hadits ini maksudnya adalah tidak boleh seseorang melakukan dua akad berbeda dalam suatu proses muamalah tertentu. Tidak boleh, misalnya, seseorang menyatakan ‘Saya menjual rumah saya ini kepada Anda dengan syarat Anda menjual rumah Anda yang di Puncak pada saya’, ‘Saya menjual perusahaan ini pada Anda dengan catatan Anda menikahkan putri Anda kepada saya’, atau ‘Saya menjual barang ini dengan harga 10 juta rupiah pada Anda dengan cicilan selama 2 tahun, tetapi bila di tengah jalan Anda tidak dapat melunasinya maka barang tersebut tetap menjadi milik saya dan uang yang telah Anda berikan dianggap sebagai sewa barang selama Anda menggunakannya.’
Di dalam muamalah tadi terdapat dua akad sekaligus, menjual rumahnya sekaligus membeli rumah pembeli rumahnya dalam satu akad, menjual perusahaan sekaligus menikahi putri pembeli perusahaannya dengan hanya satu akad, dan jual-beli sekaligus sewa dalam satu akad tertentu. Semua ini bertentangan dengan sikap Rasulullah SAW tadi.
Berdasarkan hal ini nampaklah bahwa dalam muamalah financial leasing (yang secara umum dikenal dengan istilah ‘leasing’ saja) terdapat dua akad sekaligus dalam satu proses muamalah tertentu. Dan hal ini tidak sesuai dengan titah Rasulullah SAW. Padahal, dalam syariat Islam, bila akad yang terjadi sewa maka tetap berlaku sewa sampai batas akhir waktu penyewaan. Demikian pula, suatu akad jual-beli tetap sebagai jual beli. Andaikan jual-beli itu dilakukan dengan mencicil dan pihak pembeli belum dapat melunasi seluruh utang pembeliannya pada waktu yang telah disepakati, akad tersebut tetap jual-beli dan tidak dapat dialihkan menjadi akad apapun, termasuk diubah menjadi akad sewa.
Selain itu, bila dilihat dari realitasnya, muamalah jenis ini nampak mengunggulkan pemberi sewa (perusahaan leasing) dibandingkan dengan penyewa. Terlebih-lebih bila pihak pembeli merasa mencicil barang dengan harga ‘pembelian’. Di tegah jalan, karena sesuatu hal, ia tidak mampu melunasinya. Akhirnya, barang yang diangankan untuk dimilikinya pada akhir cicilan nanti harus dikembalikan, dan ia hanya menyewa saja. Padahal, tentu saja, harga sewa logisnya lebih kecil dibandingkan dengan harga beli dengan cicilan.
Satu hal lagi, persoalan leasing menjadi bertambah bila dalam cicilannya itu melibatkan riba (bunga). Sebab, Allah SWT memfirmankan : “Dan Allah telah menghalalkan jual beli serta mengharamkan seluruh riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275).

Alternatif/Solusi Hukum Leasing
Allah SWT telah menurunkan aturan yang memenuhi rasa keadilan manusia. Kaitannya dengan jual-beli dengan kredit, syariat Islam telah menggariskan apa yang disebut dengan
1. Bai’ Bitsaman Ajil (BBA).
Bai’ Bitsaman Ajil merupakan suatu proses perjanjian jual untuk barang tertentu antara pemilik dan pembeli, dimana pemilik barang akan menyerahkan barang seketika, sedangkan pembayaran dilakukan dengan cicilan dalam jangka waktu yang disepakati bersama. Secara ringkas, penjual dan pembeli menyepakati total harga barang tersebut, lama waktu pembayarannya, dan pembayaran tiap bulannya tanpa disertai bunga. Sejak terjadi transaksi, barang tersebut resmi menjadi milik pembeli, hanya saja ia menanggung hutang seharga barang tersebut kepada pihak penjual.
Untuk berjaga-jaga, dapat ditentukan adanya barang jaminan, termasuk barang yang diperjualbelikan tersebut. Bila pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajiban hutangnya dalam waktu yang disepakati tidak dilakukan penentuan harga ulang (repricing) ataupun pemberian sanksi. Salah satu jalan yang ditempuh adalah barang tadi (bila sebagai jaminan) dijual. Hasilnya, sebagian digunakan untuk melunasi sisa hutangnya dan, bila ada, sisanya diberikan kepada pihak pembeli.
BBA sebenarnya merupakan salah satu bentuk jual-beli dengan cicilan/kredit (Al Bai’ bid Dain wa bit Tqsith). Jual beli dengan hutang ini dibenarkan secara syar’iy.
Beberapa aturan Allah SWT menegaskan hal ini, diantaranya :
· Firman Allah SWT : “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al Baqarah [2] : 275). Dalam ayat ini kata Al Bai’ bersifat umum. Artinya semua jual beli hukum asalnya halal kecuali ada nash-nash yang menjelaskan keharamannya.
· Imam Bukhari, Muslim, dan Nasai meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah membeli bahan makanan dari seorang Yahudi dengan hutang dan beliau memberikan baju besinya sebagai jaminan.
Jadi, ringkasnya, muamalah ada beberapa hal dalam leasing yang tidak sesuai dengan syari’at Islam. Oleh karena itu, perlu ada muamalah alternatif yang manfaat dan kegunaannya sama, serta legal menurut syari’at Islam. Alternatif dimaksud adalah al bai’ bid dain (jual-beli dengan hutang) yang salah satu turunannya adalah bai’ bitsaman ajil.

2. Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT/Sewa Pembelian)
Ijarah Muntahia Bittamlik (sewa dan pembelian) adalah perjanjian antara perusahaan pembiayaan (Muajjir) dengan konsumen sebagai penyewa.(Mustajir). Penyewa setuju akan membayar uang sewa selama masa sewa yang diperjanjikan dan bila sewa berakhir perusahaan (muajjir) mempunyai hak opsi untuk memindahkan kepemilikan obyek sewa tersebut.
Dalam Ijarah Muntahia Bittamlik, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini :
· Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa;
· Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Pilihan untuk menjual barang diakhir masa sewa (alternatif 1) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative kecil. Karena sewa yang dibayarkan relative kecil, akumulasi nilai sewa yang sudah dibayarkan sampai akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut dan margin laba yang diotetapkan oleh bank. Karena itu, untuk mengurangi kekurangan tersebut, bila pihak penyewa ingin memiliki barang tersebut, ia harus membeli barang itu di akhir periode.
Pilihan untuk menghibahkan barang di akhir periode mas sewa (alternative 2) biasanya diambil bila kemampuan financial penyewa untuk membayar sewa relative lebih besar. Karena sewa yang dibayarkan relative besar, akumulasi sewa di akhir periode sewa sudah mencukupi untuk menutupi harga barang dan margin laba yang ditetapkan oleh bank. Dengan demikian, bank dapat menghibahkan barang tersebut di akhir masa periode sewa kepada pihak penyewa.
Pada aal-Bai’ wal Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) dengan sumber pembiayaan dari Unrestricted Investment Account (URIA), pembayaran oleh nasabah dilakukan secara bulanan. Hal ini disebabkan karena pihak bank harus mempunyai cash in setiap bulan untuk memberikan bagi hasil kepada nasabah yang dilakukan secara bulanan juga. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri.

C.Perbedaan Ijarah dan Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT)
Perbedaan antara pembiayaan Murabahah dan IMBT dapat dilihat dari aspek :
1.Aspek akad
Dari sisi akad, antara pembiayaan Murabahah dan IMBT terlihat jelas mengandung perbedaan. Pembiayaan murabahah menggunakan akad jual-beli (al-ba’i). Oleh karena itu, syarat dan rukun jual-beli dalam pembiayaan Murabahah harus terpenuhi. Sedangkan dalam pembiayaan IMBT digunakan akad sewa menyewa yang prakteknya disertai wa’ad (janji) dari pihak yang menyewakan untuk memindahkan kepemilikan barang disewakan kepada pihak penyewa. Begitu pula dalam pembiayaan IMBT, syarat dan rukun sewa juga harus terpenuhi di dalamnya. MBT yang secara harfiah berarti sewa yang diakhiri dengan kepemilikan mensyaratkan perpindahan hak milik ada di akhir akad.

2.Aspek relasi antar pihak
Sedangkan dari sisi relasi antar pihak yang melakukan akad, dalam pembiayaan murabahah hubungan yang terjalin antara pihak bank syariah dengan nasabah adalah hubungan antara penjual dan pembeli. Sedangkan dalam pembiayaan IMBT, hubungan yang terjalin antara pihak bank syariah dengan nasabah adalah hubungan antara pihak yang menyewakan dan pihak penyewa.

3.Aspek perpindahan kepemilikan
Adapun dari aspek perpindahan kepemilikan, dalam pembiayaan murabahah perpindahan kepemilikannya terjadi di awal akad. Misal, pihak bank syariah melakukan transaksi jual-beli rumah dengan nasabah. Berarti sejak awal akad (kontrak), rumah tersebut telah menjadi hak milik nasabah. Dalam hal ini, nasabah diberi kelonggaran oleh bank syariah melakukan pembayaran secara angsuran sesuai dengan periode waktu yang disepakati. Sedangkan dalam pembiayaan IMBT, pelaksanaan perpindahan kepemilikan terjadi di akhir kontrak (akad), di mana bank syariah selaku pihak yang menyewakan berjanji untuk memindahkan kepemilikan kepada nasabah.

4.Aspek risiko yang timbul.
Dari sisi risiko yang timbul, dalam pembiayaan Murabahah besaran pembayaran yang dilakukan oleh nasabah mulai dari awal sampai akhir jumlahnya sama (fix). Dari sisi risiko, pihak bank syariah dan pihak nasabah tidak dibebani oleh fluktuasi margin murabahah seperti yang terjadi dalam suku bunga di industri perbankan konvensional. Lain halnya dengan IMBT, margin yang diperoleh pihak bank syariah berupa biaya sewa yang dibebankan kepada nasabah. Dalam hal ini, bank syariah dapat mereveiw margin sewa yang berjalan sesuai dengan kondisi makro keuangan di pasar. Akibatnya, risiko yang muncul dalam pembiayaan IMBT memungkinkan adanya fluktuasi cicilan sewa yang dibayarkan oleh nasabah.

Beda Kredit, Pembiayaan, Dengan Leasing
Terdapat perbedaan antara kredit (yang diberikan oleh bank konvensional), pembiayaan (yang diberikan oleh bank syariah) dengan leasing (yang diberikan oleh perusahaan pembiayaan). Oleh karenanya ketentuan hukum tentang pinjam meminjam dalam buku ketiga KUH Perdata tidak berlaku terhadap leasing. Demikian juga tidak berlaku untuk leasing segala ketentuan perbankan yang ada.
Kredit dan pembiayaan ijarah bertujuan menyediakan dana sementara leasing bertujuan menyewakan barang modal. Kredit terfokus kepada uang, jadi kreditur bukan pemilik dari barang yang didanai. Pembiayaan ijarah pada dasarnya mempunyai definisi yang sama dengan kredit, bedanya pada prinsip syariah yang digunakan. Perbedaan yang kedua adalah bank dapat memiliki atau tidak memiliki barang yang didanai. Sedangkan pada leasing, paling tidak secara yuridis, lessor merupakan pemilik barang modal.
Jelaslah leasing tidak sama dengan pembiayaan ijarah. Leasing tunduk pada Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan no.KEP122/MK, no.32/M/SK, no. 30/Kpb semuanya tahun 1974. Yang dirinci dalam KMK no.649, Pengumuman Dirjen Moneter no.Peng-307; untuk aspek perpajakan diatur dalam KMK no.650, semuanya tahun 1974. Setelah berbagai aturan yang dikeluarkan di tahun 1974, ada beberapa peraturan lagi yang mengatur tentang leasing, termasuk untuk aspek perpajakan yang diatur dalam UU no.18/2000 dan PP 143 & PP 144 tahun 2000. Sedangkan pembiayaan ijarah tunduk pada UU no.10/1998, SK Dir BI no.32/34/1999, dan berbagai ketentuan perbankan lainnya.

Beda Ijarah, Sewa Menyewa, Pembiayaan Ijarah dan Leasing
Pembiayaan Ijarah tidak sama dengan Ijarah. Ijarah mempunyai definisi yang sama dengan dengan definisi sewa menyewa. Sedangkan pembiayaan ijarah mempunyai definisi yang sangat mirip dengan definisi kredit, kecuali dalam hal penggunaan prinsip syariah pada pembiayaan ijarah. Ijarah adalah akad sewa menyewa, sedangkan pembiayaan ijarah adalah perjanjian untuk membiayai kegiatan sewa menyewa.
Pada leasing, lessor berkedudukan sebagai penyandang dana, baik tunggal atau bersama-sama dengan penyandang dana lainnya. Sementara objek leasing disediakan oleh pihak ketiga atau oleh lessee sendiri. Sebaliknya pada sewa menyewa biasa, barang objek sewa adalah memang miliknya lessor. Jadi kedudukan lessor adalah sebagai pihak yang menyediakan barang objek sewa.
Pada ijarah, bank hanya wajib menyediakan aset yang disewakan, baik aset itu miliknya atau bukan miliknya. Yang penting adalah bank mempunyai hak pemanfaatan atas aset yang kemudian disewakannya. Fatwa DSN tentang ijarah ini kemudian diadopsi kedalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 yang menjelaskan bahwa bank dapat bertindak sebagai pemilik objek sewa, dan bank dapat pula bertindak sebagai penyewa yang kemudian menyewakan kembali (para 129). Namun tidak seluruh fatwa DSN diadopsi oleh PSAK 59, misalnya fatwa DSN mengatur bahwa objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa; sedangkan PSAK 59 hanya mengakomodir objek ijarah yang berupa manfaat dari barang.
Pada pembiayaan ijarah, bank berkedudukan sebagai penyedia uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu dalam rangka penyewaan barang berdasarkan prinsip ijarah. Mengikuti penjelasan ijarah dalam PSAK 59, maka pembiayaan ijarah dapat digunakan untuk membiayai penyewaan barang yang kemudian disewakannya kembali kepada nasabah, dan dapat pula digunakan untuk membiayai pembelian barang yang kemudian disewakannya kepada nasabah.
Pada leasing biasanya masih dibutuhkan jaminan tertentu, sedangkan pada sewa menyewa dan pada ijarah tidak ada jaminan tersebut. Kalaupun diminta jaminan pada sewa dan pada ijarah biasanya berupa security deposit (titipan jaminan pembayaran sewa). Sedangkan pada leasing diminta jaminan berupa personal guarantee, fidusia terhadap barang modal yang bersangkutan, kuasa menjual barang modal, dan lain lain. Pada pembiayaan ijarah, karena bentuknya adalah penyediaan uang atau tagihan, sama dengan bentuk kredit, jaminan yang diminta sama dengan jaminan pada kredit. Bentuknya dapat berupa APHT, fidusia, cessie, guarantee, dan lain lain.



Beda IMBT, sewa beli, pembiayaan IMBT dan Leasing
IMBT merupakan kependekan dari Ijarah Mumtahiya bit Tamlik. Pembiayaan IMBT tidak sama dengan IMBT, begitupun IMBT tidak sama dengan sewa beli, dan tidak sama pula dengan leasing. Dalam sewa beli, lessee otomatis jadi pemilik barang di akhir masa sewa. Dalam IMBT, janji pemindahan kepemilikan di awal akad ijarah adalah wa’ad (janji) yang hukumnya tidak mengikat. Bila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai. Sedangkan pada leasing, kepemilikan lessee tersebut hanya terjadi bila hak opsinya dilaksanakan oleh lessee. Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT paling tidak mempunyai dua pilihan.
Pertama, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada bank telah memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa telah nihil. Dalam hal ini, meskipun secara teori fikih dikatakan hukumnya tidak mengikat untuk memindahkan kepemilikan barang tersebut, namun secara praktik bisnisnya barang tersebut akan diserahkan kepemilikannya kepada nasabah. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan sewa beli dibandingkan dengan leasing.
Kedua, besarnya angsuran bulanan IMBT yang harus dibayarkan nasabah kepada tidak memasukkan komponen nilai perolehan barang IMBT, sehingga pada akhir masa ijarah nilai perolehan barang IMBT yang masih tersisa tidak nihil (biasanya disebut nilai residu). Dalam hal ini, bila nasabah membayar nilai residu tersebut maka bank akan memindahkan kepemilikannya pada nasabah. Namun bila nasabah belum membayar nilai residunya, bank belum memindahkan kepemilikan tersebut. Jadi dalam hal ini pembiayaan IMBT lebih mirip dengan leasing dibandingkan dengan sewa beli.
Pihak lessor dalam leasing hanya bermaksud untuk membiayai perolehan barang modal oleh lessee, dan barang tersebut tidak berasal dari pihak lessor, tapi dari pihak ketiga atau dari pihak lessee sendiri. Pada sewa beli, lessor bermaksud melakukan semacam investasi dengan barang yang disewakannya itu dengan uang sewa sebagai keuntungannya. Karena itu, biasanya barang tersebut berasal dari milik pemberi sewa sendiri. Pada IMBT keduanya dapat terjadi, menyediakaan barang sewa dengan cara menyewa, kemudian menyewakannya kembali. Juga dimungkinkan menyediakan barang sewa dengan membeli kemudian menyewakannya.(br)
Pada pembiayaan IMBT, bank sebagai penyedia uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT dapat saja membiayai penyewaan barang kemudian barang tersebut disewakan kembali, dan dapat pula membiayai pembelian barang kemudian barang tersebut disewakan. Yang jelas pembiayaan IMBT adalah penyediaan uang untuk membiayai transaksi dengan prinsip IMBT, bukan akad IMBT itu sendiri. Terakhir, leasing boleh dilakukan oleh perusahaan pembiayaan sedangkan sewa beli tidak termasuk kegiatan lembaga pembiayaan. Pembiayaan IMBT boleh dilakukan oleh bank syariah, sedangkan sewa beli, leasing, IMBT tidak termasuk kegiatan bank syariah.
PEMBIAYAAN
IJARAH MUNTAHIYA BITAMLIK


• Undang-undang No.10/1998 tentang Perbankan :

- pembiayaan berdasarkan prinsip syariah wajib dikembalikan disertai imbalan (prinsip ijarah) (pasal 1.12);

- prinsip syariah dalam pembiayaan barang modal dapat dilakukan dengan pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari Bank oleh Nasabah (pasal 1.13).



• Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/34/KEP/DIR
12 Maret 1998 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah :



- Bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam menyalurkan dana antara lain melalui transaksi jual beli berdasarkan prinsip ijarah (pasal 28).



• Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 27/DSN-MUI/III/2002
28 Maret 2002 :



- harus laksanakan akad ijarah dulu;

- akad pemindahan kepemilikan (jual beli/hibah) hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai.



• Pernyataan Standard Akuntansi Keuangan (PSAK) No.59 :



- objek sewa dikeluarkan dari aktiva pemilik objek sewa pada saat terjadinya perpindahan hak milik objek sewa;

- perpindahan hak milik objek sewa diakui jika seluruh pembayaran sewa telah di selesaikan dan penyewa membeli/menerima hibah dari pemilik objek sewa.



• Kesimpulan

* Dalam tataran syariah :


- Bank adalah pemilik aset selama masa sewa;

- Bank tetap menjadi pemilik aset setelah masa sewa berakhir, jika Nasabah tidak bersedia membuat akad pemindahan kepemilikan (dengan jual beli/hibah);

- Nasabah menjadi pemilik aset setelah

akad pemindahan kepemilikan ditanda tangani sesudah masa sewa berakhir.

bisnis gaya Rasulullah saw

KEWIRAUSAHAAN MENURUT RASULULLAH

Sekelumit Pengantar Bisnis Rasulullah
Kelahiran Nabi Muhammad saw merupakan peristiwa yang tiada bandingnya dalam sejarah umat manusia, karena kehadirannya telah membuka zaman baru dalam pembangunan peradaban dunia bahkan alam semesta (rahmatul-lil’alamin 21:107) Beliau adalah utusan Allah SWT yang terakhir sebagai pembawa kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Michael Hart dalam bukunya, menempatkan beliau sebagai orang nomor satu dalam daftar seratus orang yang memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sejarah. Kata Hart, “Muhammad Saw terpilih untuk menempati posisi pertama dalam urutan seratus tokoh dunia yang paling berpengaruh, karena beliau merupakan satu-satunya manusia yang memiliki kesuksesan yang paling hebat di dalam kedua bidang-bidang sekaligus : agama dan bidang duniawi”.
Kesuksesan Nabi Muhammad Saw telah banyak dibahas para ahli sejarah, baik sejarawan Islam maupun sejarawan Barat. Salah satu sisi kesuksesan Nabi Muhammad adalah kiprahnya sebagai seorang pedagang (wirausahawan). Untuk itu kita perlu merekonstruksi sisi tijarah Nabi Muhammad Saw, khususnya manajemen bisnis yang beliau terapkan sehingga mencapai sukses spektakuler di zamannya.

Aktivitas Bisnis Nabi Muhammad saw
Reputasi Nabi Muhammad saw dalam dunia bisnis dilaporkan antara lain oleh Muhaddits Abdul Razzaq. Ketika mencapai usia dewasa beliau memilih perkerjaan sebagai pedagang/wirausaha. Pada saat belum memiliki modal, beliau menjadi manajer perdagangan para investor (shohibul mal) berdasarkan bagi hasil. Seorang investor besar Makkah, Khadijah, mengangkatnya sebagai manajer ke pusat perdagangan Habshah di Yaman. Kecakapannya sebagai wirausaha telah mendatangkan keuntungan besar baginya dan investornya.Tidak satu pun jenis bisnis yang ia tangani mendapat kerugian. Ia juga empat kali memimpin ekspedisi perdagangan untuk Khadijah ke Syiria, Jorash, dan Bahrain di sebelah timur Semenanjung Arab.
Dalam literatur sejarah disebutkan bahwa di sekitar masa mudanya, Nabi Saw banyak dilukiskan sebagai Al-Amin atau Ash-Shiddiq dan bahkan pernah mengikuti pamannya berdagang ke Syiria pada usia anak-anak (12 tahun). Lebih dari dua puluh lima tahun Nabi Muhammad Saw berkiprah di bidang wirausaha (perdagangan), sehingga beliau dikenal di Yaman, Syiria, Basrah, Iraq, Yordania, dan kota-kota perdagangan di Jazirah Arab. Namun demikian, uraian mendalam tentang pengalaman dan keterampilan dagangnya kurang memperoleh pengamatan selama ini.
Sejak sebelum menjadi mudharib (fund manager) dari harta Khadijah, ia kerap melakukan lawatan bisnis, seperti ke kota Basrah di Syiria dan Yaman. Dalam Sirah Halabiyah dikisahkan, ia sempat melakukan empat lawatan dagang untuk Khadijah, dua ke Habsyah dan dua lagi ke Jorasy, serta ke Yaman bersama Maisarah. Ia juga melakukan beberapa perlawatan ke Bahrain dan Abisinia. Perjalanan dagang ke Syiria adalah perjalanan atas nama Khadijah yang kelima, di samping perjalanannya sendiri- yang keenam-termasuk perjalanan yang dilakukan bersama pamannya ketika Nabi berusia 12 tahun.
Di pertengahan usia 30-an, ia banyak terlibat dalam bidang perdagangan seperti kebanyakan pedagang-pedagang lainnya. Tiga dari perjalanan dagang Nabi setelah menikah, telah dicatat dalam sejarah: pertama, perjalanan dagang ke Yaman, kedua, ke Najd, dan ketiga ke Najran. Diceritakan juga bahwa di samping perjalanan-perjalanan tersebut, Nabi terlibat dalam urusan dagang yang besar, selama musim-musim haji, di festival dagang Ukaz dan Dzul Majaz. Sedangkan musim lain, Nabi sibuk mengurus perdagangan grosir pasar-pasar kota Makkah. Dalam menjalankan bisnisnya Nabi Muhammad jelas menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang jitu dan handal sehingga bisnisnya tetap untung dan tidak pernah merugi.

Implementasi Manajemen Bisnis Rasulullah
Jauh sebelum Frederick W. Taylor (1856-1915) dan Henry Fayol mengangkat prinsip manajemen sebagai suatu disiplin ilmu, Nabi Muhammad Saw. sudah mengimplementasikan nilai-nilai manajemen dalam kehidupan dan praktek bisnisnya. Ia telah dengan sangat baik mengelola proses, transaksi, dan hubungan bisnis dengan seluruh elemen bisnis serta pihak yang terlihat di dalamnya. Bagaimana gambaran beliau mengelola bisnisnya, Prof. Afzalul Rahman dalam buku Muhammad A Trader, mengungkapkan:
“Muhammad did his dealing honestly and fairly and never gave his customers to complain. He always kept his promise and delivered on time the goods of quality mutually agreed between the parties. He always showed a great sense of responsibility and integrity in dealing with other people”. Bahkan dia mengatakan: “His reputation as an honest and truthful trader was well established while he was still in his early youth”.
Berdasarkan tulisan Afzalurrahman di atas, dapat diketahui bahwa Nabi Muhammad adalah seorang pedagang yang jujur dan adil dalam membuat perjanjian bisnis. Ia tidak pernah membuat para pelanggannya komplen/mengeluh. Dia selalu menjaga janjinya dan menyerahkan barang-barang yang dipesan dengan tepat waktu. Dia senantiasa menunjukkan rasa tanggung jawab yang besar dan integritas yang tinggi dengan siapapun. Reputasinya sebagai seorang pedagang yang jujur dan terpercaya benar telah dikenal luas sejak beliau berusia muda.
Dasar-dasar etika dan menejemen bisnis tersebut, telah mendapat legitimasi keagamaan setelah beliau diangkat menjadi Nabi. Prinsip-prinsip etika bisnis yang diwariskan semakin mendapat pembenaran akademis di penghujung abad ke-20 atau awal abad ke-21. Prinsip bisnis modern, seperti tujuan pelanggan dan kepuasan konsumen (costumer satisfaction), pelayanan yang unggul (service exellence), kompetensi, efisiensi, transparansi, persaingan yang sehat dan kompetitif, semuanya telah menjadi gambaran pribadi, dan etika bisnis Muhammad Saw ketika ia masih muda.
Pada zamannya, ia menjadi pelopor perdagangan berdasarkan prinsip kejujuran, transaksi bisnis yang fair, dan sehat. Ia tak segan-segan mensosialisasikannya dalam bentuk edukasi langsung dan statemen yang tegas kepada para pedagang. Pada saat beliau menjadi kepala negara, law enforcement benar-benar ditegakkan kepada para pelaku bisnis nakal. Beliau pula yang memperkenalkan asas “Facta Sur Servanda” yang kita kenal sebagai asas utama dalam hukum perdata dan perjanjian. Di tangan para pihaklah terdapat kekuasaan tertinggi untuk melakukan transaksi, yang dibangun atas dasar saling setuju “Sesungguhnya transaksi jual-beli itu (wajib) didasarkan atas saling setuju (ridla)….” Terhadap tindakan penimbunan barang, beliau dengan tegas menyatakan: “Tidaklah orang yang menimbun barang (ihtikar) itu, kecuali pasti pembuat kesalahan (dosa)!!!”
Sebagai debitor, Nabi Muhammad tidak pernah menunjukkan wanprestasi (default) kepada krediturnya. Ia kerap membayar sebelum jatuh tempo seperti yang ditunjukkannya atas pinjaman 40 dirham dari Abdullah Ibn Abi Rabi’. Bahkan kerap pengembalian yang diberikan lebih besar nilainya dari pokok pinjaman, sebagai penghargaan kepada kreditur. Suatu saat ia pernah meminjam seekor unta yang masih muda, kemudian menyuruh Abu Rafi’ mengembalikannnya dengan seekor unta bagus yang umurnya tujuh tahun. “Berikan padanya unta tersebut, sebab orang yang paling utama adalah orang yang menebus utangnya dengan cara yang paling baik” (HR.Muslim).
Sebagaimana disebut diawal, bahwa penduduk Makkah sendiri memanggilnya dengan sebutan Al-Shiddiq (jujur) dan Al-Amin (terpercaya). Sebutan Al-Amin ini diberikan kepada beliau dalam kapasitasnya sebagai pedagang. Tidak heran jika Khadijah pun menganggapnya sebagai mitra yang dapat dipercaya dan menguntungkan, sehingga ia mengutusnya dalam beberapa perjalanan dagang ke berbagai pasar di Utara dan Selatan dengan modalnya. Ini dilakukan kadang-kadang dengan kontrak biaya (upah), modal perdagangan, dan kontrak bagi hasil.

Etika Bisnis Rasulullah
Pertama, kejujuran. Kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah sangat intens menganjurkan kejujuran dalam aktivitas bisnis. Dalam tataran ini, beliau bersabda: "Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya," (H.R. Al-Quzwani). "Siapa yang menipu kami, maka dia bukan kelompok kami," (H.R. Muslim). Rasulullah sendiri selalu bersikap jujur dalam berbisnis. Beliau melarang para pedagang meletakkan barang busuk di sebelah bawah dan barang baru di bagian atas.
Kedua, menolong atau memberi manfaat kepada orang lain, kesadaran tentang signifikansi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam, tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, sebagaimana yang diajarkan bapak ekonomi kapitalis, Adam Smith, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Tegasnya, berbisnis, bukan mencari untung material semata, tetapi didasari kesadaran memberi kemudahan bagi orang lain dengan menjual barang.
Ketiga, tidak boleh menipu, takaran, ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Firman Allah: "Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi". (QS 83: 112).
Keempat, tidak boleh menjelekkan bisnis orang lain, agar orang membeli kepadanya. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Janganlah seseorang di antara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain," (H.R. Muttafaq ‘alaih).
Kelima, tidak menimbun barang. Ihtikar ialah menimbun barang (menumpuk dan menyimpan barang dalam masa tertentu, dengan tujuan agar harganya suatu saat menja di naik dan keuntungan besar pun diperoleh). Rasulullah melarang keras perilaku bisnis semacam itu.
Keenam, tidak melakukan monopoli. Salah satu keburukan sistem ekonomi kapitalis ialah melegitimasi monopoli dan oligopoli. Contoh yang sederhana adalah eksploitasi (penguasaan) individu tertentu atas hak milik sosial, seperti air, udara dan tanah dan kandungan isinya seperti barang tambang dan mineral. Individu tersebut mengeruk keuntungan secara pribadi, tanpa memberi kesempatan kepada orang lain. Ini dilarang dalam Islam.
Ketujuh, komoditi bisnis yang dijual adalah barang yang suci dan halal, bukan barang yang haram, seperti babi, anjing, minuman keras, ekstasi, dsb. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah mengharamkan bisnis miras, bangkai, babi dan patung-patung," (H.R. Jabir).
Kedelapan, bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, tinggalkanlah sisa-sisa riba jika kamu beriman," (QS. al-Baqarah:: 278). Pelaku dan pemakan riba dinilai Allah sebagai orang yang kesetanan (QS. 2: 275). Oleh karena itu Allah dan Rasulnya mengumumkan perang terhadap riba.
Kesembilan, bisnis dilakukan dengan suka rela, tanpa paksaan. Firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan bisnis yang berlaku dengan suka-sama suka di antara kamu," (QS. 4: 29).
Kesepuluh, membayar upah sebelum kering keringat karyawan. Nabi Muhammad Saw bersabda, "Berikanlah upah kepada karyawan, sebelum kering keringatnya." Hadis ini mengindikasikan bahwa pembayaran upah tidak boleh ditunda-tunda. Pembayaran upah harus sesuai dengan kerja yang dilakukan.
Dari pembahasan sederhana ini ada dua hal yang patut kita cermati. Pertama waktu atau umur yang dihabiskan Rasulullah saw untuk bisnis ternyata lbh panjang dari umur kenabiannya atau 25 tahun berbanding 23 tahun. Kedua Umur bisnis ditambah “masa kepedulian sosial” yang jumlahnya sekitar 28 tahun membentuk suatu business skill yang sangat penting bagi proses pengambilan hukum hukum perdata dan komersial kelak kemudian ketika telah menjadi Rasul.
Untuk lbh detailnya mencermati visi dan strategi bisnis Rasulullah ada baiknya kita kaji dengan seksama pasar-pasar regional yang sering kali dikunjungi Rasul dari bulan ke bulan dalam siklus pameran dagang regional dan global saat itu. Dari sirah tampak jelas bahwa Muhammad saw adl pemain bisnis yang tangguh yang senantiasa alert dengan pasar pasar regional yang harus dikunjungi. Beliau menjemput bola memperluas jaringan mencari produk terkini dan mencari mitra strategis diberbagai kawasan dagang dan industri. Value driven business Sebagai seorang calon rasul Muhammad saw telah menunjukkan keluhuran akhlak sejak usia belia dan ini ia terapkan dalam dunia bisnis. Oleh krn itu ia terkenal dengan julukan al-Amin.
Setelah menjadi rasul, Muhammad saw dianugerahi sifat-sifat yang mulia yang sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis dan ekonomi. Terapan dari sifat sifat tersebut dapat kita rangkum sebagai berikut : Dari business skills ke business laws. Mungkin ada sebagian yang berpendapat bahwa pengalaman dan teladan bisnis Muhammad sebagian besar terjadi dan dilakukan jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Oleh krn itu teladan-teladan bisnisnya belum menjadi sunnah bagi kita. Pendapat ini akan kehilangan pijakannya seadainya kita menelaah hukum dan sabda-sabda Rasul yang berkaitan dengan bisnis dan ekonomi. Sangat jelas sekali bahwa kejelasan Rasul dalam memutuskan masalah bisnis dan ekonomi sangat banyak dipengaruhi oleh kepiawaian dan intuisi bisnis masa mudanya. Top o






Bottom of Form
Kesimpulan
Nabi muhammad saw terlahir dari bangsa Quraisy, kaumnya para pebisnis, diasuh oleh seorang pebisnis dan mulai dari kecil meniti karir di daerah strategis untuk berbisnis. Daya tarik muhammad saw dalam berbisnis diantaranya : memiliki banyak pengalaman, menciptakan kejujuran, membangun silaturahim, memiliki sikap murah hati, penuh rasa syukur serta kesabaran yang terlatih.
Gaya Nabi Muhammad saw dalam berbisnis diantaranya : membentuk nama baik, membangun hubungan baik, menciptakan usaha yang halal, bersaing secara sehat. Tujuan bisnis Nabi Muhammad saw adalah menggapai Ridha Illahi, mengurangi kemiskinan dan penghambaan kepada manusia serta menyebarkan dan mengembangkan ajaran islam.
Demikian sekelumit sisi kehidupan Nabi Muhammad dalam dunia bisnis yang sarat dengan nilia-nilai manajemen, Semoga para pebisnis modern, dapat meneladaninya sehingga bisa sukses dengan pancaran akhlak terpuji dalam bisnis .

Daftar pustaka
· Abdurrahman husein, Lc,M.Ec, Muhammad saw: money magnet in business
· www.pesantrenvirtual
· www.muslimdaily
· Agustianto.niriah.com
· Michael heart, Muhammad a trader