Senin, 08 Februari 2010

Kebangkitan Sukuk sebagai instrumen keuangan islam Modern

Salah satu instrument dalam industri keuangan syariah yang diadopsi pemerintah Indonesia adalah sukuk. Dengan maksud mendiversifikasi sumber-sumber penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), memperluas basis investor, menciptakan benchmark, mengembangkan pasar keuangan syariah, dan menciptakan alternative instrument keuangan investasi, pemerintah Indonesia menerbitkan sukuk Negara.

Melalui Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2008 tentang SBSN, pemerintah diberilandasan hukum kuat untuk melakukan transaksi pengadaan pembiayaan dan pengelolaan portofolio berbasis syariah. Dan berdasarkan Keputudan Dewan syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) nomor B-273/DSN-MUI/VIII/2009 per tanggal 10 Agustus 2009 menjadi acuan bahwa sukuk telah memenuhi prinsip syariah.

Sukuk berperan besar dalam menyeimbangkan kekayaan yang terdapat dalam neraca keuangan pemerintah, otoritas moneter, perusahaan, bank dal lembaga keuangan serta berbagai bentuk entitas lain yangmemobilisasi dana masyarakat.

Pada kebanyakan Negara yang mengadopsi sukuk, instrument ini lazimnya diposisikan sebagai alat kebijakan fiscal untuk membiayai pembangunan. Kebijakan fiscal adalah suatu kebijakan yang terkait dengan aspek pengelolaan anggaran pemerintah. Kebijakan ini merupakan satu kebijakan ekonomi makro dalam mengendalikan stabilitas ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal digunakan untuk mengatuir permintaan maupun penawaran agregat melalui komponen dan besaran APBN untuk kepentingan alokasi, distribusi dan stabilisasi untuk menggerakan sektor riil, dengan memperhitungkan besaran defisit dan kemampuan pembiayaan.

Dalam peta kebijakan fiskal di Indonesia, penerbitan sukuk termasuk dalam sumber pembiayaan dan pengelolaan portofolio utang negara. Pengelolaan utang negara selain terkait dengan cara mengisi kesenjangan pembiayaan, dalam jangka panjang juga berperan dalam pengelolaan portofolio yang mendukung fiscal sustainbility.

Menurut opini pakan hukum Islam, apabila terdapat kesenjangan antara pemasukan dari sumber daya dengan pengeluaran pemerintah, syariah mengizinkan negara untuk berutang asal tanpa melibatkan bunga dan karena terpaksa (Iqbal & Minakhor, 2008). Chapra (1997) juga mengemukakan bahwa Islam memperkenenkan untuk melakukan pinjaman, namun pinjaman hanya dilakukan untuk keperluan yang produktif dan membawa maslahat bagi masyarakat serta meniadakan riba. Meski demikian Chapra memberi catatan bahwa anggaran belanja yang dibiayai dari modal pinjaman cenderung menyebabkan inflasi jika tidak disertai dengan naiknya pasokan barang dan jasa. Tentu hal ini akan mengakibatkan stabilitas moneter terganggu. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, pinjaman dapat dilakukan jika ada jaminan yang disertai dengan kenaikan output. Pinjaman dengan sedikit kenaikan produksi dapat dilakukan selama tingkat inflasinya kecil daripada ketimpangan yang ditimbulkan oleh kepentingan ekonomi dan non ekonomi. Hal ini selaras dengan prinsip bahwa bahaya yang lebih kecil boleh dikorbankan untuk menghindari bahaya yang lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

• Sudarsono, Heri Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Edisi kedua Cetakan keempat, Yogyakarta: Penerbit EKONISIA, 2007.
• Kasmir Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi Revisi Cetakan keenam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
• Majalah Sharing Edisi 35 Thn IV November 2009 dalam Laporan Utama Sukuk Untuk Fiscal Sustainbility oleh Khairunnisa Musari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar