Senin, 25 Januari 2010

Kebijakan Fiskal dan Moneter Indonesia harusnya dapat mencontoh zaman kejayaan Islam

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM EKONOMI PEMBANGUNAN
(PERSPEKTIF ISLAM)

An-Nabahan(2000:59), mengatakan bahwa pemerintah merupakan lembaga formal yang mewujudkan dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada semua rakyatnya. Pemerintah mempunyai berbagai macam tanggung jawab dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, dimana salah satunya adalah tanggung jawab terhadap perekonomian yaitu mengawasi faktor utama penggerak perekonomian, misalnya mengawasi praktek produksi dan jual beli, melarang praktek-praktek yang diharamkan agama, mematok harga jika dibutuhkan, dan menindak segala macam praktek yang merugikan masyarakat.
Untuk mewujudkan tanggung jawab perekonomian tersebut maka Majid (2003: 221-223), mengatakan pemerintah membutuhkan dua instrumen kebijakan yaitu kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Kebijakan-kebijakan ini telah dipraktekan di zaman Rasulullah dan dikembangkan khulafaur rasyidin serta para ulama/cendekiawan muslim. Sehingga peran serta pemerintah dalam perekonomian terlihat dalam kemampuan pemerintah merumuskan kebijakan-kebijakan yang tepat baik di bidang fiskal maupun moneter yang berakibat pada sektor perekonomian riil masyarakat.

Kebijakan Fiskal
Tujuan kebijakan fiskal dalam islam adalah menciptakan stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan pendapatan dalam koridor-koridor syariat (sebagaimana temaktub dalam QS Al-Hasyr:7 yaitu terwujudnya persamaan dan demokrasi ekonomi di masyarakat). Al Ghazali bahkan mengatakan kebijakan fiskal merupakan salah satu perangkat yang sangat penting dalam mewujudkan Maqhasid syariah. Adanya larangan tentang riba dan kewajiban untuk mengeluarkan zakat menyiratkan akan pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan kebijakan moneter dalam negara islam. Larangan bunga yang diberlakukan pada tahun keempat Hijriyah mengakibatkan sistem ekonomi islam hanya bersandarkan pada kebijakan fiskal saja, namun mampu membangun perekonomian islam yang kuat di zaman Rasulullah.
Penerapan kebijakan fiskal yang dilakukan oleh lembaga Baitulmaal (National Treasury) dilakukan dengan berbagai instrumen seperti penerapan pajak atas individu (jizyah dan pajak khusus), tanah kharaj, dan ushur (cukai) atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang muslim. Namun jika perekonomian negara sedang mengalami depresi maka yang berlaku adalah instrumen zakat, sehingga pelaku ekonomi(masyarakat) yang terlilit utang, jatuh miskin tidak dikenai pajak bahkan disantuni dan diberikan modal dari harta zakat orang-orang kaya.Dari sini terlihat bahwa dalam kebijakan fiskal, pemerintah berperan mengatur distribusi harta dan jasa di tengah-tengah masyarakat sehingga titik berat pemecahan permasalahan ekonomi adalah bagaimana menciptakan mekanisme distribusi ekonomi yang adil.
Di masa pemerintahan Rasulullah, negara islam mulai mempunyai pendapatan setelah memenangi perang Badar yang berasal dari rampasan perang dimana pembagiannya diatur dalam QS Al-Anfal:41 yaitu 1/5 adalah hak Allah, Rasul dan kerabatnya, yatim, miskin dan ibnu sabil, sedangkan 4/5 adalah milik para pejuang yang berperang. Juga mendapatkan tebusan dari para tawanan perang(4000 dirham/tawanan) dan tanah wakaf dari bani Nadhir atas hukuman pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin. Juga pengenaan jizyah terhadap kaum nonmuslim yang berada dalam negara islam selama mereka belum memeluk islam dan sanggup membayarnya. Sumber lain juga kharaj terahadap tanah nonmuslim saat Khaibar ditaklukan yang dilaksanakan tiap satu tahun sekali (Al Hasyr:7). Ushur juga dikenakan dalam perdagangan antar negara yang menjadi pendapatan negara.
Sedangkan penetapan besaran zakat serta penjelasan harta yang wajib dizakati yaitu emas, perak, perniagaaan, peternakan, tanaman, dan rikaz dilakukan pada abad 2 Hijriyah (Harahap.2001). Ketentuan dalam penggunaan dana zakat tercantum dalam QS At-Taubah: 60. Sehingga alokasi dan penggunaan zakat concern pada pengangkatan derajat dan martabat kaum miskin menuju kesetaraan pendapatan. Sedangkan di luar zakat digunakan untuk menciptakan stabilitas dalam sistem perekonomian islam. Maka sumber penerimaan pendapatan masa Rasulullah terbagi dalam tiga golongan besar yaitu dari harta kaum muslim, nonmuslim dan sumber lainnya. Rasulullah menganut asas anggaran berimbang (balance budget) dalam mengelola penerimaan dan pengeluaran negara dimana semua penerimaan negara habis digunakan untuk pengeluaran negara.
Dari uraian di atas kita dapat memformulasikan kebijakan fiskal dalam islam yang berpedoman pada Al-Qur‘an dan Sunnah berinti (1) islam tidak menyukai pembelanjaan negara yang tidak terkendali/israf. Larangan ini berlaku baik untuk individu maupun negara,(2) kebijakan yang dibuat harus mampu memenuhi kebutuhan dasar tatanan sosial-ekonomi masyarakat islam yaitu terpenuhinya kesejahteraan material dan spiritual masyarakat.

Kebijakan Moneter
Islam memiliki pandangan yang khas tentang sistem moneter dan keuangan. Kebijakan moneter Rasulullah selalu disandarkan pada sektor riil perekonomian, hasilnya adalah pertumbuhan sekaligus stabilitas. Syekh Abdul Qalim Zallum mengatakan sistem moneter adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara. Yang paling penting dalam setiap keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai mata uang lain.
Sistem moneter islam sesungguhnya merupakan pelengkap dan penyempurna sistem ekonomi berdasarkan sektor riil. Kegiatan yang tinggi dalam produksi dan perdagangan akan mempertinggi juga perputaran dan jumlah uang yang beredar. Dengan kata lain permintaaan akan uang hanya lahir dari motif transaksi dan tindakan berjaga-jaga. Dalam perekonomian islam, keseimbangan aktivitas ekonomi riil dengan tinggi rendahnya jumlah uang yang beredar senantiasa dijaga oleh suatu instrmen yaitu sistem perbankan islami yang tidak menggunakan instrumen bunga namun pembagian keuntungan dari hasil investasi di sektor riil dengan sistem profit and loss sharing.penghapusan bunga dan kewajiban membayar zakat 2,5% selain dapat meminimalisasikan motif spekulatif terhadap tingkat suku bunga namun juga memberiikan stabilitas yang tinggi terhadap permintaan uang.
Variabel yang diformulasikan ddalam kerangka perekonomian islam adalah stok uang bukan tingkat suku bunga. Bank Syariah harus mengarahkan kebijakan moneternya mendorong pertumbuhan akan penawaran uang yang cukup untuk membiayai pertumbuhan potensial dalam jangka menengah dan jangka panjang demi mencapai harga yang stabil. Perekonomian di zaman rasulullah bukanlah sekedar barter, valuta asing Persia dan Romawi dalam dinar dan dirhamnya dikenal seluruh lapisan masyarakat dan menjadi alat bayar resmi. Sistem devisa bebas diterapkan tanpa ada larangan untuk mengimpor dinar dan dirham yang berarti penawaran uang elastis, dimana setiap kelebihan penawaran uang dapat diubah menjadi perhiasan emas dan perak. Untuk menjaga kestabilan harga maka dibuat pelarangan :
a. Permintaan uang yang tidak riil hanya untuk spekulatif
b. Penimbunan mata uang
c. Transaksi talaqqi rukhban (mencegat pedaddang dari luar kota untuk mendapattkan keuntungan dibawah harga pasar dari ketidaktahuan pedagang terhadap harga)
d. Segala bentuk riba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar